Manajemen Lembaga Zakat
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Dalam
pengelolaan zakat, Al-Qur'an menyebutkan kata ’amilin dalam salah satu dari
delapan ashnaf yang berhak menerima dana zakat (QS. Al-Taubah : 60). Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Al-Qurtubi
menafsirkan kata amilin sebagai orang-orang yang ditugaskan (oleh
imam/pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, menghitung dana zakat yang
diambil dari muzakki untuk kemudian diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya.
Amil zakat harus mampu menciptakan dan merumuskan strategi pemanfaatan zakat
yang berdaya guna dan berhasil guna. Amil zakat juga harus mampu mengeksplorasi
berbagai potensi umat sehingga dapat diberdayakan secara optimal. Dengan
demikian, zakat menjadi lebih produktif.
Untuk
mengoptimalkan pengelolaan dana zakat tersebut, maka dikeluarkan Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan kemudian undang-undang
tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa organisasi pengelola zakat
terdiri dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang dibentuk oleh pemerintah
dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh masyarakat dan dikukuhkan serta
dibina oleh pemerintah. Dengan UU Zakat tersebut telah mendorong upaya
pembentukan lembaga pengelola zakat yang amanah, kuat dan dipercaya masyarakat.
Tentu saja hal ini meningkatkan pengelolaan zakat sehingga peran zakat menjadi
lebih optimal. Lembaga-lembaga zakat telah mampu mengelola dana hingga puluhan
milyar rupiah, dengan cakupan penyalurannya mencapai seluruh wilayah Indonesia.
Dengan
adanya dua organisasi pengelola zakat yang memiliki peran yang sama, yaitu
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, maka dari itu dibutuhkan
sinergisasi peran di antara kedua organisasi tersebut agar kegiatan pengelolaan
zakat dapat berjalan efektif, efisien, dan merata. Sehingga peran zakat sebagai
salah satu sumber perekonomian bangsa dapat terkelola secara optimal dan
produktif.
B.
Rumusan Masalah
Untuk
mempelajari tentang manajemen lembaga zakat pemakalah akan membatasi hal-hal
yang terkait dengan tema tersebut,diantaranya :
1.
Tinjauan
Mengenai Zakat
2.
Tinjauan
Mengenai Lembaga pengelola Zakat
3.
Manajemen
Pengelola Zakat dan Lembaga
Zakat (Amil)
4.
Sinergisitas Peran BAZNAS dan LAZ dalam
pengelolaan zakat di Indonesia
C.
Tujuan
Untuk
mempelajari tentang manajemen zakat di Indonesia, serta peran dan mekanisme
dari lembaga pengelola zakat di Indonesia.
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan Mengenai Zakat
Zakat
menurut lughah (bahasa), artinya kesuburan, thaharah yang artinya kesucian,
barakah yang artinya keberkatan dan berarti juga tazkiyah tathhier yang berarti
mensucikan. Zakat berasal dari bahasa Arab az-zakah, yang berarti: suci,
bersih, tumbuh, berkembang, bertambah, subur, berkah, baik dan terpuji. Zakat
merupakan penyerahan sebagian harta benda yang telah ditentukan oleh Allah
kepada yang berhak menerimanya.
Zakat
diwajibkan dalam Al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’ Ulama. Disebut zakat dalam
syari’at karena adanya pengertian etimologis, yaitu karena zakat dapat
membersihkan atau mensucikan pelakunya dari dosa dan menunjukkan kebenaran
imannya. Zakat ini merupakan rukun Islam yang ketiga. Dalam
buku Pedoman Zakat Departemen Agama RI disebutkan bahwa zakat adalah sesuatu
yang diberikan orang sebagai hak Allah SWT kepada yang berhak menerima antara
lain fakir miskin, menurut ketentuan-ketentuan agama Islam. Menurut
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011, Pasal 1 poin 2, zakat adalah harta yang
wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada
yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
B.
Tinjauan Mengenai Lembaga Pengelola Zakat
Organisasi pengelola zakat ialah institusi yang
bergerak di bidang pengelolaan dana zakat, infaq, dan shadaqah. Pada zaman
Rasulullah SAW, dikenal sebuah lembaga yang disebut Baitul Maal. Baitul Maal
ini memiliki tugas dan fungsi mengelola keuangan negara. Sumber pemasukannya
berasal dari dana zakat, infaq, ghanimah, dan lain-lain. Sedangkan
penggunaannya untuk ashnaf mustahiq yang telah ditentukan, untuk kepentingan
da’wah, pendidikan, pertahanan, kesejahteraan sosial, pembuatan infrastrukur,
dan lain sebagainya.
Kenyataan menunjukkan bahwa di Indonesia,
organisasi pengelola zakat telah ada sejak dahulu. Baik dalam bentuk pesantren,
yayasan-yayasan sosial, maupun bentuk-bentuk lainnya. Lembaga-lembaga ini
biasanya menerima dana-dana zakat, infaq, shadaqah, maupun wakaf dari
masyarakat yang kemudian disalurkan melalui program-program sosial, seperti
pembangunan masjid dan pesantren, program da’wah, bantuan kepada anak yatim,
serta berbagai program sosial lainnya. Dalam peraturan perundang-undangan di atas, diakui
adanya dua jenis organisasi pengelola zakat, yaitu:
1.
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) ialah
organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah. (Undang-undang Nomor
23 Tahun 2011, Pasal 5). AZNAS merupakan lembaga yang berwenang
melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional. (Pasal 6).
2.
Lembaga Amil Zakat (LAZ). Lembaga Amil Zakat (LAZ) ialah organisasi
pengelola zakat yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat. Keberadannya untuk
membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ. (Undang-undang Nomor 23
Tahun 2011, Pasal 17)
Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelolaan
zakat, apalagi yang memiliki kekuatan hukum formal, memiliki beberapa
keuntungan antara lain sebagai berikut:
1. Untuk
menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat.
2. Untuk
menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung
untuk menerima zakat daripada muzakki.
3. Untuk
mencapai efisien dan efektivitas serta sasaran yang tepat dalam penggunaan
harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat.
4. Untuk memperlihatkan syiar Islam dalam
semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami. Sebaliknya, jika zakat di
serahkan langsung dari muzakki kepada mustahik meskipun secara hukum syari’ah
adalah sah, akan tetapi disamping akan terabaikannya hal-hal tersebut di atas,
juga hikmah dan fungsi zakat terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan ummat
akan sulit di wujudkan.
C. Manajemen Pengelola Zakat dan Lembaga Zakat (Amil)
Pelaksanaan zakat didasarkan pada
firman Allah dalam QS. At-Taubah:60
إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ
اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah
dan untuk mereka
yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah,
dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana . Juga
dalam firman Allah SWT QS. At-Taubah:103
خُذْ
مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ
عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.
Dalam surah At-taubah :60
dikemukakan bahwa salah satu golongan yang berhak menerima zakat adalah orang
yang bertugas mengurus zakat (‘amilina ‘alaiha).
Sedangkan dalam surah At-taubah:103 bahwa zakat itu diambil dari orang-orang
yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki) untuk kemudian
diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq). Yang mengambil dan
menjemput tersebut adalah para petugas (‘amil). Imam Qurtubi menafsirkan
surah At-Taubah : 60 menyatakan bahwa amil itu adalah orang yang ditugaskan
oleh imam atau pemerintah untuk mengambil, menuliskan, menghitung dan
mencatatkan zakat yangdiambilnya
dari muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak
menerimanya. Karena itu Rasulullah SAW pernah mempekerjakan seorang dari suku
Asad yang bernama ibnu lutaibah untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim.
begitupula
dengan Muas bin Jabal yang ditugaskan di negeri Yaman sebagai da’i
juga sebagai pengurus Zakat.. demikian pula yang dilakukan oleh para khulafaur
rasyidin sesudahnya.
Pengelolaan
zakat oleh lembaga pengelola zakat memiliki beberapa keuntungan antara lain: Pertama, untuk
menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat. Kedua, untuk
menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila
berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki. Ketiga ,
untuk mencapai efisiensi dan efektifitas serta sasaran yang tepat dalam
penggunaan harta zakat menurut skala proritas yang ada pada suatu tempat. Keempat,
untuk memperlihatkan syiar islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan
yang Islami. Kelima, untuk
memudahkan kordinasi dan konsolidasi data muzakki dan mustahiq. Keenam,
untuk memudahkan pelaporan dan pertanggungjawaban ke publik. Ketujuh,
agar pengelolaaannya dapat dikelola secara professional.
Sebaliknya jika zakat diserahkan langsung
dari muzakki ke mustahik, meskipun secara hukum
syar’i adalah sah, akan tetapi disamping akan terabaikannya hal-hal tersebut
diatas, juga hikmah dan fungsi zakat, terutama yang berkaitan dengan pemerataan
dan kesejahteraan ummat, akan sulit diwujudkan. Di Indonesia pengelolaan zakat
diatur berdasarkan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581 tahun 1999 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dan
Keputusan
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D. D/291 tahun
2000 tentang Pedoman Tehnis Pengelolaan Zakat. Dalam Undang-Undang ini masih
banyak kekurangan terutama tidak adanya sangsi bagi muzakki yang
melalaikan kewajibannya tidak membayar zakat, tetapi Undang-Undang ini
mendorong upaya untuk pembentukan lembaga pengelola zakat yang amanah, kuat dan
dipercaya oleh masyarakat.
Dalam Undang-Undang ini dikemukakan
bahwa pengelolaan zakat bertujuan untuk:
1. Meningkatkan pelayanan bagi
masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan
agama.
2. Meningkatkan
fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan masyarakat dan
keadilan sosial.
3 Meningkatkan
hasil guna dan daya guna zakat
Dalam
Bab III Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dikemukakan bahwa organisasi pengelola
zakat terdiri dari dua jenis, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil
Zakat (LAZ). Selanjutnya bahwa setiap pengelola zakat karena kelalaiannya tidak
mencatat dengan tidak benar tentang zakat, infak, sedekah, hibah, wasiat, waris
dan kaffarat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 pasal 12 dan pasal 11
Undang-Undang tersebut, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga
bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 30.000.000.
Persyaratan
Pengelola Lembaga Zakat (Amil).
DR. Yusuf Qardawi dalam bukunya,
Fiqh Zakat, menyatakan bahwa seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat
atau pengelola zakat harus memiliki persyaratan sebagai berikut:
Pertama;
Beragama Islam. Zakat adalah salah satu urusan utama kaum muslimin yang
termasuk rukun Islam (rukun islam ketiga), karena itu seharusnya apabila urusan
penting kaum muslimin diurtus oleh sesama muslim
Kedua,
Mukallaf yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya yang siap menerima
tanggungjawab mengurus urusan umat.
Ketiga, memilki
sifat amanah dan jujur. Sifat ini penting untuk menjaga kepercayaan umat.
Artinya para muzakki akan dengan rela menyerahkan zakatnya melalui lembaga
pengelola zakat, jika memang lembaga ini patut dan layak dipercaya. Keamanahan
ini diwujudkan dalam bentuk transparansi (keterbukaan) dalam menyampaikan
laporan pertanggungjawaban secara berkala dan juga ketepatan penyalurannya
sejalan dengan ketentuan syariah Islam. Sifat amanah dan professional ini
dikisahkan tentang Nabi Yusuf as yang mendapatkan kepercayaan sebagai bendaharawan
negeri Mesir, yang saat itu dilanda paceklik berhasil membangun kembali
kesejahteraan masyarakat karena kemampuannya menjaga amanah. Firman Allah SWT
QS. Yusuf:55
قَالَ
اجْعَلْنِي عَلَى خَزَآئِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Berkata
Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".
Keempat; mengerti
dan memahami hukum-hukum zakat yang menyebabkan ia mampu melakukan sosialisasi
segala sesuatu yang berkaitan dengan zakat kepada masyarakat
Kelima;
memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Amanah dan
jujur merupakan syarat yang penting akan tetapi juga harus ditunjang oleh
kemampuan dalam melaksanakan tugas
Keenam;
motivasi dan kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugasnya. Amil zakat
yang baik adalah amil zakat yang fuul time dalam melaksanakan tugasnya, tidak
asal-asalan dan tidak pula sambilan
Ketujuh,
syarat yang tidak kalah pentingnya, hemat penulis memiliki kemampuan analisis
perhitungan zakat, manajemen, IT dan metode pemanfataan dan pemberdayaan zakat.
Kedelapan,
peningkatan capacity building amil sehingga bisa berkopetisi setiap momen dan
priode tertentu.
Persyaratan Lembaga
Pengelola Zakat.
Persyaratan
teknis lembaga zakat berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI nomor 581 tahun
1991 adalah:
1. Berbadan
Hukum
2. Memiliki
data muzakki dan mustahik
3. Memiliki
program kerja yang jelas
4. Memmiliki
pembukuan dan manajemen yang baik
5. Melampirkan
surat pernyataan bersedia diaudit
Persyaratan
tersebut diharapkan dapat mengarah pada profesionalitas dan trasparansi dari
setiap pengelolaan zakat.Dalam
buku petunjuk teknis pengelolaan zakat yang dikeluarkan oleh Institut Manajemen
Zakat (2001) dikemukakan susunan organisasi pengelola lembaga zakat
antara lain:
1. Susunan
Organisasi Badan Amil Zakat (BAZ)
a. Badan
Amil Zakat terdiri atas Dewan pertimbangan, Komisi Pengawas dan Badan Pelaksana
b. Dewan
pertimbangan meliputu unsur ketua, sekertaris dan anggota
c. Komisi
Pengawas meliputi unsur ketua, sekertaris dan anggota
d. Badan
pelaksana meliputi unsur ketua, sekertaris, bagian keuangan, bagian
pengumpul, bagian pendistribusian dan pendayagunaan
e. Anggota
pengurus Badan Amil Zakat terdiri atas unsur masyarakat dan unsur pemerintah.
Unsur masyarakat terdiri atas unsur ulama, cendikia, tokoh masyarakat, tenaga
profesional dan lembaga pendidikan yang terkait
2. Fungsi
dan Tugas Pokok Pengurus Badan Amil Zakat (BAZ)
a. Dewan
Pertimbangan
1) Fungsi,
memberikan pertimbangan, fatwa, saran dan rekomendasi kepada badan pelaksana
dan Komisi Pengawas dalam pengelolaan Badan Amil Zakat, meliputi aspek syariah
dan aspek manajerial
2) Tugas
Pokok
a. Memberikan
garis-garis kebijakan umum Badan Amil Zakat
b. Mengesahkan
rencana kerja dari Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas
c. Mengeluarkan
fatwa syariah baik diminta maupun tidak terkait dengan hukum zakat yang wajib
diikuti oleh pengurus Badan Amil Zakat
d. Memberikan
pertimbangan, saran dan rekomendasi kepada Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas
baik diminta maupun tidak
e. Memberikan
persetujuan atas laporan tahunan hasil kerja Badan Pelaksana dan Komisi
Pengawas
f. Menunjuk
Akuntan Publik
b. Komisi
Pengawas
1) Fungsi;
sebagai pengawas internal lembaga atas operasional kegiatan yang dilaksanakan
Badan Pelaksana
2) Tugas
Pokok
a. Mengawasi
pelaksanaan rencana kerja yang telah disahkan
b. Mengawasi
pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan Dewan Pertimbangan
c. Mengawasi
operasional kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana, yang mencakup
pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan
d. Melakukan
pemeriksaan operasional dan pemeriksaan syariah
3. Badan
Pelaksana
1) Fungsi;
sebagai pelaksana pengelolaan zakat
) Tugas
pokok
a. Membuat
rencana kerja
b. Melaksanakan
operasional pengelolaan zakat sesuai rencana kerja yang telah disahkan dan
sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan
c. Menyusun
laporan tahunan
d. Menyampaikan
laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah
e. Bertindak
dan bertanggungjawab untuk dan atas nama Badan Amil Zakat kedalam maupun keluar
Manajemen Zakat,
Infaq, Sadaqah dan Wakaf
Seiring dengan perintah Allah
kepada umat Islam untuk membayarkan zakat, Islam mengatur dengan tegas dan
jelas tentang pengelolaan harta zakat. Manajemen zakat yang ditawarkan oleh
Islam dapat memberikan kepastian keberhasilan dana zakat sebagai dana umat
Islam. Hal itu terlihat dalam Al-Qur’an bahwa Allah memerintahkan Rasul SAW
untuk memungut zakat (QS. At-Taubah: 103).
Di samping itu, surat At-Taubah ayat
60 dengan tegas dan jelas mengemukakan tentang yang berhak mendapatkan dana
hasil zakat yang dikenal dengan kelompok delapan asnaf. Dari kedua
ayat tersebut di atas, jelas bahwa pengelolaan zakat, mulai dari memungut,
menyimpan, dan tugas mendistribusikan harta zakat berada di bawah wewenang
Rasul dan dalam konteks sekarang, zakat dikelola oleh pemerintah. Dalam
operasional zakat, Rasul SAW telah mendelegasikan tugas tersebut dengan
menunjuk amil zakat. Penunjukan amil memberikan
pemahaman bahwa zakat bukan diurus oleh orang perorangan, tetapi dikelola
secara profesional dan terorganisir.
Amil yang mempunyai tanggungjawab terhadap
tugasnya, memungut, menyimpan, dan mendistribusikan harta zakat kepada orang
yang berhak menerimanya. Pada masa Rasul SAW, beliau mengangkat beberapa
sahabat sebagai amil zakat. Aturan dalam At-Taubah ayat 103
dan tindakan Rasul saw tersebut mengandung makna bahwa harta zakat dikelola
oleh pemerintah. Apalagi dalam Surat At-Taubah ayat 60, terdapat kata amil sebagai
salah satu penerima zakat. Berdasarkan ketentuan dan bukti sejarah, dalam
konteks kekinian, amil tersebut dapat berbentuk yayasan atau Badan
Amil Zakat yang mendapatkan legalisasi dari pemerintah. Akhir-akhir ini di
Indonesia, selain ada Lembaga Amil Zakat yang telah dibentuk pemerintah berupa
BAZ mulai dari tingkat pusat sampai tingkat kelurahan, juga ada lembaga atau
yayasan lain seperti Dompet Dhuafa di Jakarta, Yayasan Dana Sosial Al-Falah di
Surabaya, Yayasan Daarut Tauhid di Bandung, dan Yayasan Amil Zakat di Lampung.
Bahkan sebagian yayasan tersebut sudah dapat menggalang dana umat secara profesional
dengan nominal yang sangat besar. Dan pendayagunaan zakat sudah diarahkan untuk
pemberian modal kerja, penanggulangan korban bencana, dan pembangunan fasilitas
umum umat Islam. Apalagi dengan situasi dan kondisi sekarang banyak sekali
lembaga atau yayasan yang peduli terhadap masalah-masalah ketidakberdayaan dan
ketidakmampuan umat Islam. Ada beberapa program yang diperuntukkan juga bagi
umat Islam yang tidak mampu seperti advokasi kebijakan publik, HAM, bantuan
hukum, pemberdayaan perempuan. Semua program tersebut memerlukan dana yang
tidak sedikit, sementara itu pendanaannya tidak mungkin dibebankan kepada
mereka.
Berdasarkan kenyataan tersebut, muncul pertanyaan apakah dana dari
zakat dapat digunakan untuk pelaksanaan pro-gram yayasan atau badan yang
mengurus kepentingan umat Islam yang tak mampu secara finansial, akses, ataupun
pengetahuan. Mereka dengan segala keterbatasannya juga harus dibantu. Program
tersebut pun memerlukan dana operasional, bahkan mereka yang membantu pun perlu
dana. Pada satu sisi, penerima zakat telah ditetapkan secara tegas dan jelas,
yang sebagian orang memahami tidak mungkin keluar dari aturan tersebut.
Apabila asnaf yang ditetapkan dalam surat At-Taubah ayat 60
tersebut dipahami secara tekstual, ada asnaf yang tidak dapat diaplikasikan
sekarang, yaitu riqab. Riqab adalah budak Muslim yang telah
dijanjikan untuk merdeka kalau ia telah membeli dirinya. Begitu juga dengan fuqara’,
masakin, dan gharimin. Pemahaman tekstual akan menyebabkan tujuan zakat
tidak tercapai, karena pemberian dana zakat kepada yang bersangkutan sifatnya
hanya charity. Masalah krisis ekonomi yang dihadapi sebagian umat
Islam yang memerlukan bukan hanya bagaimana kebutuhan dasarnya terpenuhi. Akan
tetapi bagaimana mengatasi krisis tersebut dengan mengatasi penyebab munculnya
krisis. Dengan demikian, untuk pencapaian tujuan zakat dan hikmah pewajiban
zakat, maka pemahaman kontekstual dan komprehensif terhadap delapan asnaf penerima
zakat perlu dilakukan, sehingga kelompok yang berhak mendapatkan dana zakat
dapat menerima haknya.
Manajemen
zakat yang baik adalah suatu keniscayaan. Dalam Undang-Undang (UU) No.38 Tahun
1999 dinyatakan bahwa “Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan
pendistribusian serta pendayagunaan zakat”. Agar LPZ dapat berdaya guna, maka
pengelolaan atau manajemennya harus berjalan dengan baik.
Kualitas
manajemen suatu organisasi pengelola zakat (Widodo, 2003) harus dapat diukur.
Untuk itu, ada tiga kata kunci yang dapat dijadikan sebagai alat ukurnya. Pertama,
amanah. Sifat amanah merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap
amil zakat. Tanpa adanya sifat ini, hancurlah semua sistem yang dibangun. Kedua,
sikap profesional. Sifat amanah belumlah cukup. Harus diimbangi dengan
profesionalitas pengelolaannya. Ketiga, transparan. Dengan
transparannya pengelolaan zakat, maka kita menciptakan suatu sistem kontrol
yang baik, karena tidak hanya melibatkan pihak intern organisasi saja, tetapi
juga akan melibatkan pihak eksternal. Dan dengan transparansi inilah rasa
curiga dan ketidakpercayaan masyarakat akan dapat diminimalisasi.
Ketiga
kata kunci ini dapat diimplementasikan apabila didukung oleh penerapan
prinsip-prinsip operasionalnya. Prinsip-prinsip operasionalisasi LPZ antara
lain. Pertama, kita harus melihat aspek kelembagaan. Dari aspek
kelembagaan, sebuah LPZ seharusnya memperhatikan berbagai faktor, yaitu : visi
dan misi, kedudukan dan sifat lembaga, legalitas dan struktur organisasi, dan aliansi
strategis.
Kedua, aspek
sumber daya manusia (SDM). SDM merupakan aset yang paling berharga. Sehingga
pemilihan siapa yang akan menjadi amil zakat harus dilakukan dengan hati-hati.
Untuk itu perlu diperhatikan faktor perubahan paradigma bahwa amil zakat adalah
sebuah profesi dengan kualifikasi SDM yang khusus.
Ketiga,
aspek sistem pengelolaan. LPZ harus memiliki sistem pengelolaan yang baik,
unsur-unsur yang harus diperhatikan adalah : LPZ harus memiliki sistem,
prosedur dan aturan yang jelas, memakai IT, manajemen terbuka; mempunyai activity
plan; mempunyai lending commite; memiliki sistem akuntansi dan
manajemen keuangan; diaudit; publikasi; perbaikan terus menerus.
Setelah
prinsip-prinsip operasional kita pahami, kita melangkah lebih jauh untuk
mengetahui bagaimana agar pengelolaan zakat dapat berjalan optimal. Untuk itu,
perlu dilakukan sinergi dengan berbagai stakeholder. Pertama,
para pembayar zakat (muzakki). Jika LPZ ingin eksis, maka ia harus mampu
membangun kepercayaan para muzakki. Banyak cara yang bisa digunakan
untuk mencapainya, antara lain: memberikan progress report berkala,
mengundangmuzakki ke tempat mustahik, selalu menjalin
komunikasi melalui media cetak, silaturahmi, dan lain-lain. Kedua,
para amil. Amil adalah faktor kunci keberhasilan LPZ. Untuk
itu, LPZ harus mampu merekrut para amil yang amanah dan
profesional.
Prinsip-Prinsip
Pengelolaan Zakat
Dalam pengelolaan zakat terdapat
beberapa prinsip-prinsip yang harus diikuti dan ditaati agar pengelolaan
dapat berhasil sesuai yang diharapkan, diantaranya :
1.
Prinsip Keterbukaan, artinya dalam pengelolaan zakat hendaknya dilakukan
secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat umum.
2.
Prinsip Sukarela, artinya bahwa dalam pemungutan atau pengumpulan zakat
hendaknya senantiasa berdasarkan pada prisip sukarela dari umat Islam
yang menyerahkan harta zakatnya
tanpa ada unsur pemaksaan atau cara-cara yang dianggap sebagai suatu pemaksaan. Meskipun pada dasarnya
ummat Islam yang enggan membayar zakat harus
mendapat sangsi sesuai perintah Allah.
3.
Prinsip Keterpaduan, artinya dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus dilakukan secara
terpadu diantara komponen-komponen yang lainnya.
4.
Profesionalisme, artinya dalam pengelolaan zakat harus dilakukan oleh mereka yang
ahli dibidangnya., baik dalam administrasi, keuangan dan sebaginya.
5.
Prinsip Kemandirian, prinsip ini
sebenarnya merupakan kelanjutan dari prinsip prefesionalisme,
maka diharapkan lembaga-lembaga pengelola zakat dapat mandiri dan mampu
melaksanakan tugas dan fungsinya tanpa perlu menunggu bantuan dari pihak lain.
Pola
Manajemen Zakat
Secara
Umum Pengelolaan Zakat diupayakan dapat menggunakan
fungsi-fungsi manajemen modern yang meliputi; Perencanaan, engorganisasian, Pelaksanaan dan pengarahan serta pengawasan. Perencanaan
meliputi; merumuskan rancang bangun organisasi, perencanaan program kerja yang
terdiri dari: penghimpunan (fundraising), pengelolaan dan pendayagunaan.
Pengorganisasian meliputi; tugas dan wewenang, penyusunan personalia,
perencanaan personalia dan recruiting. Pelaksanaan dan pengarahan terdiri dari;
pemberian motivasi, komunikasi, model kepemimpinan, dan pemberian reward dan
sangsi. Sedangkan pengawasan meliputi; Tujuan pengawasan, tipe pengawasan,
tahap pengawasan serta kedudukan pengawas.
Pengelolaan
zakat dan Pengalokasian zakat professional dan produktif
Dalam
literature zakat, baik literature klasik maupun modern, selalu ditemukan bahwa
pengumpulan zakat adalah kewajiban pemerintah di negara Islam. Penguasa
berkewajiban memaksa warga Negara yang beragama Islam dan mampu memabayar zakat
atas harta kekayaannya yang telah mencapai haul dan nisab. Kewajiban membayar
zakat ini diikuti dengan penerapan dan pelaksanaan pengelolaan zakat yang
professional. Ketidakberhasilan ini disebabkan karena persoalan manajemen
kelembagaannya. Olehnya itu perlunya penerapan prinsip-prinsip manajemen secara
professional. Salah satu model pendayagunaan zakat dengan sistem Surplus zakat
Budged. Yaitu zakat diserahkan muzakki kepada Amil, dana yang dikelola akan
diberikan kepada mustahiq dalam bentuk uang tunai dan sertifikat. Dana yang
diwujudkan dalam bentuk sertifikat harus dibicarakan dan mendapat izin dari
mustahiq yang menrimanya. Dana dalam bentuk uang cash akan digunakan sebagai
pembiayaan pada perusahaan, dengan harapan perusahaan tersebut akan berkembang
dan dapat menyerap tenaga kerja dari masyarakat ekonomi lemah termasuk
mustahiq. Disamping itu perusahaan akan memberikan bagi hasil kepada mustahiq
yang memiliki sertifikat pada perusahaan tersebut. Dari bagi hasil yang
diterima mustahiq tersebut jika telah mencapai nishab dan haulnya diharapkan
mustahiq tersebut dapat membayar zakat atau memberikan sadaqah. Tugas amil
adalah membentu mustahiq dalam mengelola dana zakat dan selalu memberi
pengarahan atau motivasi serta pembinaan sampai mustahiq dapat memanfaatkan
dana yang dimiliki dengan baik.
D.
Sinergitas Peran Pengelola Zakat Di Indonesia
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas
pengelolaan zakat secara nasional, BAZNAS menyelenggarakan fungsi sebagai
berikut :
Pasal 7)
a.
perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
b.
pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
c.
pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan
d. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan
pengelolaan zakat.
Sedangkan LAZ berfungsi membantu BAZNAS dalam
pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Peran kedua organisasi tersebut sebagai
penghimpun ZIS adalah sebagai berikut:
1.
Membantu pemerintah menghimpun ZIS dari masyarakat terhimpun melalui individu
maupun lembaga
2. Apabila lewat lembaga akan ter-menej dengan
baik, sementara lewat individu riskan terjadi penyimpangan, sehingga keberadaan
organisasi pengelola zakat dapat mencegah dana zakat, infak, shadaqah, dan
wakaf dapat tersalurkan dengan merata dan tepat sasaran.
3. Dalam konteks Organisasi Pengelola Zakat
(OPZ) setiap orang dalam organisasi merupakan orang-orang yang rela bekerja
untuk ummat, merasa terlibat dalam proses penghimpunan hingga pemuasan muzakki
dalam menitipkan amanah terhadapnya, baik secara langsung maupun tidak langsung
dan bukan hanya sebagai pelaksana suatu fungsi tertentu. Meskipun organisasi
sosial, keprofesionalan organisasi tetap diutamakan.
Sinergisitas BAZNAS dan LAZ, selain untuk
mewujudkan misi bersama, manfaatnya agar dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan
tidak saling tumpang tindih fungsi, apalagi saling menghambat disebabkan adanya
persaingan memperebutkan eksistensi lembaga dan kepercayaan di mata masyarakat.
Keberadaan BAZNAS dan LAZ substansinya adalah
bagaimana melawan dan mengentaskan kemiskinan yang ada di Indonesia, untuk itu
perlu adanya sinergisitas antara keduanya. Dari segi metode, upaya, bentuk, dan
kegiatan antara BAZNAS dan LAZ masing-masing memiliki inovasi dan kreasi
tersendiri baik dari segi pengumpulan, pendistribusian, pendayagunaan dana
zakat, infaq, dan shadaqah, maupun pengembangan lembaga.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sinergisitas BAZNAS dan LAZ sangat diperlukan
demi pencapaian visi dan misi bersama. Dengan adanya sinergisitas dua lembaga
tersebut akan meningkatkan pelayanan kepada muzakki yang semakin banyak, dan
penanganan terhadap mustahiq, permasalahan kemiskinan bisa semakin berkurang,
dan kaum dhuafa bisa mampu dalam kehidupannya. Bidang kerja yang sama, dengan
adanya sinergisasi menjadikan pekerjaan lebih efektif, efisien, dan merata.
Maka dari itu sinergi menjadi keharusan bagi organisasi pengelola zakat agar
potensi zakat yang besar benar-benar bisa menjadi penopang perekonomian masyarakat.
Dan dengan efektifitas dalam pelaksanaan kerja, maka tujuan yang besar tersebut
akan mudah terwujud.
B.
Saran
1. Bagi pemerintah, peran BAZNAS dan LAZ sangat
membantu pemerintah dalam penghimpunan dan pendayagunaan zakat di masyarakat.
OPZ tersebut merupakan partner pemerintah, sehingga keberadaannya perlu
didukung dan dilindungi. Tanpa bantuan mereka, pemerintah akan sangat kesulitan
menghimpun seluruh potensi zakat dari masyarakat, serta dukungan dari
pemerintah agar dibentuk Badan Koordinasi Zakat dan adanya aturan sinergisasi
Organsisasi Pengelola Zakat (OPZ) ke dalam aturan perundang-undangan, sebab
dengan dimasukkannya ke dalam Undang-undang, menimbulkan adanya upaya paksa
untuk mengikuti ketentuan yang ada.
2. Bagi
BAZNAS dan LAZ, semoga makin meningkatkan pelayanan terhadap umat, bekerja
dengan penuh tanggungjawab dan profesional, serta pengefektivan Forum Zakat
sebagai lembaga koordinator yang sudah ada diantara Organisasi Pengelola Zakat
(OPZ), dengan adanya perwakilan dari BAZNAS dan LAZ di dalamnya tersebut, upaya
sinergisasi pengelola zakat seharusnya menjadi lebih mudah, terlebih sebelum
dibentuknya Badan koordinasi Zakat yang baru dimintakan untuk dimasukkan ke
dalam peraturan perundang-undangan yang akan datang. Tujuan pembentukan Badan
ini adalah agar pengelolaan zakat menjadi lebih efektif dan produktif dengan
adanya kerjasama yang baik antara BAZNAS dan LAZ, oleh karena itu diperlukan
keseriusan dan dukungan dari para pihak pengelola zakat.
****************************
Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmailcom