Potensi Wakaf Produktif (di DKI Jakarta)
Pendahuluan
Perkembangan wakaf di Indonesia kian hari
kian meningkat. Hal ini terlihat dari bertambahnya jumlah dan obyek harta
wakaf, baik berupa tanah, uang, dan lainnya, yang tersebar di berbagai penjuru
di Indonesia. Data rekap tanah wakaf selalu mengalami kenaikan. Misalnya, data
tahun 2010 menyebutkan ada 415.980 obyek tanah wakaf di seluruh Indonesia
(lampiran 1). Data tahun 2013 (yang dilaporkan tahun 2014) jumlah ini meningkat
menjadi 435.395 obyek tanah wakaf (lampiran 4). Data tahun 2013 menyebutkan ada
414.246,429 hektar luas tanah wakaf yang ada di Indonesia. Bayangkan berapa
nilai tanah wakaf itu jika dihitung dengan nilai rupiah saat ini. Wakaf uang
misalnya yang di tahun 2010 dimulai oleh Gerakan Wakaf Uang BWI dengan nilai 2
milyar rupiah, tahun 2015 total pengumpulannya ada sekitar 185 milyar (Divisi
Kenaziran BWI, 2016). Jumlah-jumlah tersebut pun terus meningkat setiap
harinya. Ini aset yang luar biasa besar dan sangat potensial. Dan ini berarti,
bila dikembangkan dan dikelola secara baik, wakaf bisa menjadi pilar baru dalam
pembangunan ekonomi masyarakat. Perkembangan praktik dan penambahan jumlah
obyek tanah wakaf di atas juga sejalan dengan peningkatan studi tentang wakaf
di Indonesia.
Namun sayang, realita lapangan menunjukkan bahwa
data wakaf sebanyak itu yang bisa menjadi potensi ekonomi luar biasa hanyalah
potensi di atas kertas, yang lama kelamaan bisa “mati” bila tidak dikelola dan
dikembangkan dengan baik. Di DKI Jakarta saja misalnya, seperti halnya
dijelaskan lebih jauh pada BAB II, hampir semua wakaf tanah yang ada
diproyeksikan guna kepentingan tempat ibadah (masjid dan mushalla), tidak
dikombinasikan dengan fungsi lain semisal pendidikan atau bahkan pengembangan
ekonomi umat. 2 Fenomena Wakaf di Indonesia: Tantangan menuju Wakaf Produktif
Prosentase peruntukan aset wakaf di DKI angkanya mencapai 51% untuk mushalla
dan 32% untuk masjid sehingga total jumlahnya 83% (Kanwil DKI Jakarta, 2008,
lihat lampiran 3). Sisanya barulah ada yang peruntukkan bagi makam, sekolah/madrasah,
dan kepentingan sosial.
Gambaran seperti di DKI ini adalah fenonema
umum yang bisa ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia, bahwa mayoritas aset
wakaf diperuntukkan jadi tujuan ibadah ritual. Tidak salah dengan peruntukan
ini. Hanya sayang, pembacaannya menjadi sangat letterlijk dan tidak membuka
kemungkinan untuk pengembangan ekonomi dan sosial yang dimodifikasi dari
peruntukan tersebut. Sekalipun tersedia lahan di areal tempat ibadah, proyeksi
penggunaan lahan pun sudah dapat dipastikan sebagai perluasan tembat ibadah
saja, tidak untuk tujuan sosial, pendidikan atau ekonomi produktif bagi
masyarakat. Jumlah tanah wakaf yang digunakan untuk kegiatan produktif sangat
sedikit. Mengapa demikian?
Ada beberapa alasan. Pertama, masih cukup
banyak para nazir yang mengelola wakaf dengan cara konvensional, bila tidak
ingin disebut tradisional. Apa yang dibayangkan para nazir sebagai wakaf
masihlah sangat sederhana. Wakaf masih dipahami sebagai aktivitas menyerahkan
sebagian harta benda guna dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu untuk dimanfaatkan sebagai keperluan ibadah yang notabenenya tidak
boleh dibisniskan.
Kedua, masih banyak para wakif yang
mewakafkan hartanya memang diperuntukkan untuk pembangunan tempat ibadah.
Apalagi, gejala ini menjadi semakin krusial karena kebanyakan para wakif,
dengan meminta pertolongan pada anggota keluarganya yang masih hidup,
mewakafkan hartanya sesudah mereka meninggal. Artinya, status harta wakaf
tersebut menjadi wasiat bagi keluarganya yang mau tidak mau, harus dijalankan.
Ketiga, masih banyak anggapan di masyarakat
bahwa menyalurkan harta wakaf guna dijadikan pemberdayaan ekonomi berpotensi
besar dalam menyulut konflik. Bagi masyarakat yang berada pada situasi ini,
wakaf merupakan salah satu bentuk ibadah terhadap Ilahi yang sifatnya sangat
sakral. Bila niat yang awalnya ditujukan untuk ibadah ini kemudian berujung
pada konflik dan mengganggu kekhusukan ibadah, maka sebaiknya dari awal harta
wakaf langsung saja diperuntukkan menjadi masjid atau mushalla. Padahal
contoh-contoh awal wakaf pada masa Nabi yang tersebar adalah wakaf perkebunan.
Namun wakaf perkebunan atau lainnya yang produktif ini belum menjadi tren
karena memang perkembangan ekonomi terpisah dengan perkembangan keagamaan.
Dari pemahaman konsep-konsep berwakaf yang
demikian, sudah dapat dipastikan bahwa potensi wakaf tidak akan bisa
dikembangkan seluas-luasnya. Paradigma keliru yang masih terpelihara di atas
sudah seharusnya diubah bila ingin melihat wakaf bisa berkembang pesat. Sungguh
miris apabila potensi yang luar biasa besar tersebut hanya akan menjadi aset
“mati suri” karena salah urus sejak awal. Jangan biarkan potensi-potensi wakaf
yang luar biasa signifikan itu menguap begitu saja.
Mengembangkan Potensi Wakaf, Membangun
Masyarakat
Satu imajinasi yang perlu dirawat dan
ditumbuh kembangkan di alam pikir para pengelola wakaf adalah perlunya inovasi
tanpa henti di tengah perkembangan zaman. Para pengelola wakaf dengan bantuan
segenap pihak yang bersangkutan, sedianya, harus menjadi motor penggerak
kemajuan ekonomi kerakyatan. Apalagi bila kita melihat ekonomi kerakyatan yang
diampu negara, dalam bentuk koperasi misalnya, belum berjalan secara maksimal
dan bahkan relatif “jalan” di tempat. Wakaf perlu dikembangkan ke arah wakaf
produktif, sebagaimana yang digalakkan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI), agar
pembangunan umat dapat terbantu.
Dengan wakaf produktif, diharapkan institusi
keagamaan dapat menjadi sektor-sektor strategis dalam pembangunan masyarakat.
Oleh karenanya, pengembangan dan peningkatan kapasitas para nazir pun harus
dilakukan. Para pengelola wakaf sudah seharusnya secara perlahan merubah
orientasi pengurusan wakaf menjadi profesional, walau tidak melulu harus
produktif. Aset wakaf sebisa mungkin tidak saja memiliki nilai sosial, tapi
juga nilai ekonomis. Tanah wakaf yang terabaikan atau belum termanfaatkan,
misalnya, bisa dimanfaatkan menjadi gedung perkantoran, ruko, swalayan, pabrik,
kontrakan, restoran, bank cabang pembantu, atau TK ataupun PAUD. Lebih jauh,
wakaf dengan peruntukan pendirian masjid pun bisa dimodifikasi dengan membangun
gedung serbaguna baik di lahan yang sama atau di bagian bawah masjid, yang
dapat disewakan untuk acara resepsi pernikahan, ruang pertemuan, ruang rapat,
dan mungkin untuk acara seminar. Sehingga, operasional masjid bisa terbantu
dengan pemasukan dari ruang/gedung pertemuan tersebut.
Sementara itu, manfaat wakaf yang berupa uang
atau jasa, wakaf dapat diberdayakan guna pengembangan kapasitas masyarakat. Beberapa
bentuk pengembangannya, sebagai contoh, dapat berupa, pertama, aktivitas bina
sosial yang berisi program pelatihan kerja dan usaha bagi para pengangguran,
penanganan dan rehabilitasi anak jalanan ataupun rehabilitasi masyarakat yang
mengidap penyakit masyarakat (narkoba, premanisme, prostitusi).
Kedua, manfaat wakaf pun dapat dipergunakan
untuk membantu pengembangan lembaga pendidikan di daerah-daerah terpencil.
Bentuknya beragam, seperti pendirian sekolah gratis, bantuan bukubuku
pelajaran, maupun pakaian seragam. Selain itu, beberapa bantuan lain yang dapat
diberikan dalam hal pendidikan adalah pemberian bantuan peralatan-peralatan
penunjang pendidikan, pemberian beasiswa bagi anak berprestasi maupun tidak
mampu, dan pemberian honor guru-guru yang mengabdikan ilmunya dengan
sungguhsungguh, sebagaimana yang banyak terjadi di daerah-daerah pelosok.
Di bidang kesehatan, ketiga, wakaf
uang pun dapat dipergunakan untuk melakukan penyuluhan-penyuluhan misalnya
terkait hidup sehat. Mengingat kesadaran masyarakat Indonesia terkait hidup
sehat masih sangat minim bila dibandingkan dengan negara-negara lain.
Pembangunan fasilitas-fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, klinik bersalin,
puskesmas, dan bahkan MCK yang layak, bisa jadi salah satu bentuk wakaf produktif
yang bermanfaat untuk umat. Dan, tentu saja, program-program pengobatan umum
dan perbaikan gizi anak juga perlu dilakukan.
Keempat, wakaf dapat membina masyarakat
menjadi mandiri secara ekonomi. Karenanya, alangkah baiknya jika manfaat wakaf
dapat disalurkan menjadi modal bergulir bagi pengusaha kecil. Meskipun begitu,
pemberian modal ini harus diikuti dengan program pelatihan dan pembinaan bagi
pengembangan kapasitas pengusaha kecil. Bantuan kepada kelembagaan keuangan
usaha kecil mikro (BMT, Koperasi Syariah, BPRS) pun jangan lupa dilakukan.
Perluasan nilai manfaat dari aset wakaf
produktif yang semacam ini belum begitu populer, karena umumnya wakaf masih
dikelola dengan cara yang sederhana. Namun sebagiannya telah dipraktikkan
terutama oleh beberapa institusi wakaf yang ada di perkotaan. Hal ini
menunjukkan kesadaran akan pengembangan wakaf menjadi wakaf produktif
sebetulnya cenderung terbentuk secara perlahan-lahan.
Sebagai salah satu bentuk filantropi,
keberadaan wakaf berkorelasi positif terhadap penguatan civil society
(masyarakat madani). Mengapa demikian? Praktik wakaf menopang perekonomian
masyarakat. Bila wakaf produktif berhasil menstabilkan perekonomian rakyat, hal
ini mendukung penguatan kesejahteraan. Wakaf menjadi penguat masyarakat sipil,
tidak saja dari aktivitas keuangan yang dikelola, tapi juga aktivitas sosial
yang mendorong penguatan masyarakat sipil. Salah satu faktor penting yang
menopang demokrasi di suatu negara adalah kuatnya modal sosial, yaitu kesadaran
untuk melakukan kebajikan, melakukan kedermawanan, voluntarisme bagi orang lain
dan masyarakat umum. Dengan demikian, praktik wakaf mendorong pada penguatan
demokrasi di Indonesia. Terlebih lagi beberapa studi sudah memperlihatkan di
berbagai tempat bahwa filantropi (wakaf adalah salah satu bentuk praktik
filantropi) merupakan tanda dari keberadaan civil society (Fauzia, 2016). Wakaf
secara tidak langsung berperan mempererat persatuan bangsa. Sebab, masyarakat
secara sadar turut berkontribusi dalam pembangunan masyarakat. Dalam wakaf,
masyarakat pun secara sukarela mendermakan hartanya untuk perubahan masyarakat
menuju arah yang lebih baik.
BWI dan Upaya Pengembangan Wakaf
Produktif
Mari menengok kembali Undang-Undang Wakaf
Nomor 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah no. 42 Tahun 2006. Di situ
dikatakan bahwa BWI diberikan amanat untuk mengembangkan pengelolaan perwakafan
di Indonesia ke arah yang lebih profesional dan produktif sehingga wakaf
benar-benar mampu memberi sumbangan positif pada perekonomian negara. Berangkat
dari situ, tegas dikatakan bahwa BWI punya peran sentral dalam mengelola
aset-aset wakaf yang ada di Indonesia. Maka dari itu, seyogyanya, BWI harus
menjadi patron bagi para nazir dalam pengembangan wakaf produktif di Indonesia.
Peran pembinaan terhadap nazir-nazir yang ada
di Indonesia pun menjadi tanggung jawab BWI dan juga Kementerian Agama melalui
direktorat Zakat dan Wakaf. Pembinaan nazir ini bertujuan untuk meningkatkan
profesionalitas nazir dalam mengelola harta benda wakaf sehingga wakaf
benar-benar dapat memberi manfaat yang maksimal dalam mewujudkan kesejahteraan
umat. BWI berupaya melakukan pembinaan nazir, namun dengan jumlah nazir yang
hampir setengah juta dan tersebar di seluruh pelosok Indonesia tugas ini
menjadi tidak mudah.
BWI juga berupaya melakukan kerjasama dengan
organisasi masyarakat sipil, para ahli, badan internasional, dan pihak-pihak
yang dirasa penting guna kemajuan wakaf di Indonesia. Bahkan, tujuan
pembentukan BWI pun diharapkan dapat menjalankan beberapa fungsi seperti fungsi
motivator (memotivasi para nazir yang ada di Indonesia), fasilitator bagi para
nazir, dan regulator (menciptakan regulasi-regulasi guna kemajuan dunia
perwakafan). Guna mengembangkan wakaf, BWI memiliki Divisi Penelitian dan
Pengembangan (Litbang) yang melakukan penelitian empirik terkait
praktik-praktik wakaf di Indonesia. Beberapa upaya yang dilakukan divisi
tersebut, melakukan penelitian, dan menyebarkan hasil penelitian itu untuk
dapat mendorong perubahan praktik ke arah yang lebih baik. Salah satu bukti kongkritnya
adalah buku ini.
Terakhir, lewat buku ini, BWI berupaya
menghadirkan hasil-hasil penelitian BWI selama sepuluh tahun terakhir. Memang,
buku ini belum sempurna. Tapi paling tidak, buku ini menjadi salah satu upaya
BWI guna mensyiarkan permasalahan dan solusi pengembangan wakaf di Tanah Air.
Buku ini dapat menjadi pemandu untuk melihat kondisi dunia perwakafan di
Indonesia.
POTENSI WAKAF PRODUKTIF DI DKI JAKARTA
Latar belakang
Potensi wakaf untuk memajukan perekonomian
masyarakat semakin memikat banyak kalangan. Hal ini bukannya tanpa alasan.
Beberapa sumber, misalnya, menunjukkan bahwa banyak tanah wakaf di Indonesia
yang nyatanya berpotensi dan berpeluang untuk bisa dikembangkan menjadi lebih
besar lagi. Apalagi, untuk tanah-tanah wakaf yang berlokasi di daerah industri
ataupun sentral bisnis pada kota-kota besar, itupun belum termasuk dengan
tanah-tanah yang ada di pedesaan. Temuan penelitian Center for the Study of
Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Nadjib dan Al-Makassary,
ed, 2006) pun memperkuat hal ini dengan menunjukkan beberapa fakta lapangan
seperti: (1) luasnya tanah wakaf yang telah teridentifikasi (154 ribu hektar)
oleh Kementerian Agama (Kemenag); (2) tanah wakaf tersebut mempunyai nilai uang
yang relatif besar (590 triliyun rupiah); dan (3) mayoritas tanah wakaf
tersebut dikelola secara baik oleh civil society (nazir perorangan, organisasi,
yayasan, kelompok masyarakat, organisasi sosial).
Di Jakarta, paling tidak tercatat ada lima
ribu lebih lokasi tanah wakaf yang tersebar di berbagai kotamadya. Banyak di
antaranya diperuntukkan sebagai tempat ibadah (mushalla atau masjid), pemakaman
umum, maupun lembaga pendidikan Islam. Namun sayang, masih banyak tanah wakaf
tersebut tidak berdampak pada kemajuan ekonomi masyarakat sekitar. Alihalih
menghilangkan, mengurangi kemiskinan saja masih banyak lembaga pengelola wakaf
(nazir dan seperangkat agen wakaf lainnya) yang belum mampu. Dalam kasus ini,
terutama Jakarta, wakaf masih ditempatkan sebagai media untuk memperbanyak
modal keberagamaan, tapi melupakan modal-modal lainnya yang lebih bersifat pada
kemajuan hajat hidup umat sekitar.
Penyusunan buku ringkasan penelitian
memberikan informasi yang akurat dan up to date terkait masalah perwakafan. Isi
buku tidak hanya mengksplorasi hasil penelitian badan wakaf Indonesia dari
tahun 2012 sampai 2016 namun juga memberikan informasi terkait hasil penelitian
yang dilakukan oleh beberapa instansi yang dibuat dalam bentuk tesis dan
disertasi.
Metodologi
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif
yang meliputi kajian lapangan dan pustaka dengan melibatkan beberapa
lembagalembaga wakaf di Jakarta. Metode studi kasus digunakan menganalisis
lebih jauh potensi-potensi tanah wakaf yang ada di DKI Jakarta. Untuk itu,
beberapa aspek akhirnya ditentukan saat memilih lembaga wakaf yang ingin
dijadikan studi kasus, seperti: (1) memiliki sertifikat wakaf; (2) memiliki
luas tanah lebih dari 1000 m²; (3) memiliki kelebihan bangunan diatas 500 m²,
dan (4) tanah wakafnya diperuntukkan selain untuk pemakamanan.
Dari sekitar 1301 lokasi tanah wakaf yang
tersebar di Jakarta (data base tanah wakaf: Kemenag, 2006), terdapat 108 lokasi
tanah wakaf yang memiliki aset tanah di atas 1000 m². Kemudian, dari 108 tanah
wakaf tersebut, ditarik sampel penelitian sebesar 20% per kotamadya di DKI
Jakarta, sehingga didapatkan sebanyak 24 tanah wakaf yang dipilih sebagai studi
kasus
Untuk pengumpulan data sebagai bahan
penelitian, peneliti ini mengobservasi 24 tanah dan asset wakaf, melakukan
wawancara kepada nazir (pengelola wakaf), wakif (pemberi wakaf), dan mauquf
alaihi (penerima manfaat wakaf) dari tanah wakaf tersebut (total 63
narasumber), dan terakhir adalah mencari dokumen pendukung (misalnya sertifikat
dan organisasi struktur pengurus) keberadaan dan aktivitas wakaf. Dari 24
lembaga wakaf yang diteliti, hanya 21 yang memenuhi kelengkapan data untuk
dianalisa lebih jauh.
C. Menuju Wakaf Produktif ( di DKI Jakarta )
Jakarta adalah kota padat penduduk. Pasalnya,
tanah Jakarta yang hanya seluas 661,52 km² itu ditempati kira-kira oleh 10 juta
orang lebih. Padahal, bila dibandingkan dengan Singapura yang memiliki luas
lebih besar, sekitar 719,1 km², jumlah penduduk Singapura justru jauh lebih
sedikit, kira-kira hanya sekitar 6 juta orang. Pun sudah sesak dengan manusia,
masih saja banyak orang yang berdatangan tiap harinya ke Jakarta. Arus
urbanisasi ke Jakarta semakin tak terbendung. Namun, banyaknya masyarakat yang
memilih berdomisili di Jakarta pun bukannya tanpa alasan. Tingkat pendapatan
yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan daerah lain, akses pendidikan yang
baik, hingga kualitas hidup yang lebih terjamin membuat orang-orang di luar
Jakarta rela meninggalkan kehidupannya di daerah hanya untuk tinggal di
Ibukota.
Lantas, apakah dampak yang dihasilkan dari
sesaknya arus urbanisasi itu? Tentu saja banyak, mulai dari dampak positif
hingga dampak, seringnya, negatif yang bermunculan akibat urbanisasi tersebut.
Namun, satu hal yang pasti, urbanisasi menjadi salah satu faktor yang membuat
harga tanah di DKI Jakarta terus melonjak harganya dan menjadikan tanah-tanah di
Jakarta memiliki nilai jual yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
daerah-daerah lain di Indonesia. Hal ini terlihat dari Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) DKI Jakarta yang relatif tinggi, bekisar dari 1 juta rupiah sampai
dengan 32 juta rupiah. Sehingga, dapat diperkirakan bahwa nilai aset-aset wakaf
yang berupa tanah di DKI Jakarta bisa mencapai di atas 1 milyar rupiah.
Bagian ini akan menjelaskan beberapa hal yang
terkait dengan potensi wakaf yang ada di Jakarta. Mulai dari gambaran secara
umum potensi wakaf DKI Jakarta, bagaimana sebaiknya pemanfaatan aset wakaf yang
ada di DKI Jakarta, hingga proyeksi jangka panjang dalam memenuhi target wakaf
produktif di Indonesia.
Gambaran Umum tanah wakaf di DKI Jakarta
Data Direktorat Wakaf Kementerian Agama RI
(database jumlah tanah wakaf di DKI 2008 dan 2010) menunjukkan bahwa DKI
Jakarta memiliki luas tanah wakaf yang luasnya hingga mencapai 93 km² (lihat
lampiran 1, 2 dan 3). Ini menandakan bahwa 14% dari total luas tanah DKI
Jakarta adalah tanah wakaf. Aset tanah wakaf di Jakarta pun terdapat di 5.661
lokasi yang tersebar di lima kotamadya. Aset wakaf cukup tersebar secara
merata, kira-kira sekitar 17%, di tiga wilayah kotamadya yakni, Jakarta Timur,
Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat. Lokasi aset wakaf sebagian besar
terkonsentrasi di daerah Jakarta Timur dengan jumlah sebesar 28% dan Jakarta
Selatan mencapai 27%.
Berdasarkan status sertifikat wakaf, sekitar
74% dari aset wakaf yang ada telah bersertifikat. Luas tanah wakaf yang sudah
bersertifikat hanya 18% dari total luas aset wakaf di DKI Jakarta. Hal ini
berarti sekitar 82% luas aset wakaf yang tersebar di 1.950 lokasi belum
bersertifikat. Angka ini sebagian besar terkonsentrasi di Jakarta Timur dengan
7 km² pada 593 lokasi wakaf. Tidak banyak diketahui mengapa Jakarta selatan
memiliki luas tanah 666.409 di 1.160 lokasi. Belum diketahui pula mengapa
lokasi aset wakaf bersertifikat sebagian besar terdapat di Jakarta Selatan,
apakah hal ini disebabkan oleh pelayanan pemerintah dan birokrasi wilayah
tersebut bagus atau tingkat kesadaran nazir lebih tinggi dibandingkan dengan
wilayah lainnya di Jakarta?
Pemanfaatan aset wakaf
Hasil penelitian divisi Litbang BWI
menunjukkan bahwa sejauh ini terdapat beberapa luaran dalam hal pemanfaatan
aset wakaf yang ada di DKI, yaitu diantaranya, pemanfaatan aset untuk mushalla,
masjid, madrasah, pesantren, makam, dan hajathajat sosial lainnya seperti
pemberdayaan masyarakat ekonomi lemah. Selain itu, penelitian BWI juga
memperlihatkan bahwa paham masyarakat Indonesia terkait pemanfaatan wakaf dalam
benda bergerak seperti wakaf uang, saham, wakaf produktif, dan sejenisnya,
masih menjadi momok di kalangan nazir. Hal ini diakibatkan, salah satunya, oleh
cara pandang dan tingkat profesionalisme nazir dalam hal mengelola wakaf. Kita
bisa lihat, bahwa sebagian besar aset wakaf yang ada masih dimanfaatkan
mushalla (51%), masjid (32%), pesantren (8,7%), makam (0,3%) dan kegiatan
sosial (0,1%). Wakaf masih berorientasi pada hal-hal yang bersifat transenden.
Pendayagunaan wakaf lebih fokus pada ibadah ritual. Nazir yang “kreatif ” dalam
mengembangkan asetaset tanah wakaf pun masih berbilang jari
Penggunaan aset wakaf untuk sosial/lain-lain
mencapai 7.479.465 m² atau sekitar 79.9% dari luas aset wakaf DKI Jakarta.
Selanjutnya penggunaan aset wakaf berdasarkan persebaran wilayah seperti masjid
yang berdiri di atas tanah wakaf tampak lebih banyak di daerah Jakarta Timur
dan Jakarta Selatan. Titik lokasi dari tanah-tanah wakaf tersebut di atas
sangat strategis, berdekatan dengan pusat perniagaan, perkantoran, kampus, mall
dan lain sebagainya. Jakarta memiliki potensi yang tinggi untuk pengembangan
wakaf produktif. Potensi tidak hanya dari sisi modal aset yang bernilai
ekonomi, tetapi modal sosial yang besar bagi pengembangan wakaf produktif.
Potensi Wakaf Produktif: Empat Tipe
Lembaga
Setelah melakukan kajian di ke-21 tanah wakaf
di Jakarta, studi ini menemukan empat tipe lembaga wakaf dilihat dari sisi
potensi yang dapat dikembangkan menjadi wakaf produktif. Pengelompokan ini
berangkat dari kesesuaian antara tingkat produktifitas dengan potensi nazir dan
aset yang ada di setiap tanah wakaf. Apa yang dimaksud dengan potensi nazir dalam
bab ini mengacu pada pemahaman nazir tentang wakaf produktif, gaya
kepemimpinan, jaringan kerja, dan tingkat kepercayaan masyarakat kepada mereka
(trust). Sementara di sisi lain, aset tanah wakaf dalam bab ini merujuk pada
sisa lahan tanah wakaf yang belum digunakan, letak geografis tanah, dan
manajemen pengelolaan. Empat tipe tersebut adalah: 1) wakaf dengan aset besar
dan potensi nazir tinggi; 2) wakaf dengan aset besar dengan potensi nazir
cukup; 3) wakaf dengan aset kecil dan potensi nazir tinggi; dan 4) lembaga
wakaf yang tidak memungkinkan untuk diproduktifkan. Berikut ini penjelasan
tentang keempat tipe tersebut.
1) Aset Besar
Potensi Nazir Tinggi
Tipe pengelompokan pertama adalah wakaf yang
memiliki aset besar dengan potensi nazir tinggi. Dari sisi nazir, kelompok ini
memiliki nazir dengan rekam jejak yang baik dalam pengelolaan aset wakaf.
Selain itu, nazir dalam kelompok ini memiliki latar belakang pendidikan,
pengalaman organisasi, personalitas, dan kapasitas kepemimpinan yang cenderung
baik. Para nazir ini pun kerap disebut sebagai nazir profesional. Sementara
dari sisi aset, tanah wakaf yang ada di dalam kelompok ini umumnya memiliki
aset lahan yang luas. Tanah wakaf di kelompok ini pun umumnya berlokasi di
tempat strategis serta sudah memiliki bangunan-bangunan multi-fungsi seperti
ruko, koperasi, sekolah, hingga kantor. Artinya, nazir yang ada di dalam
kelompok ini secara mandiri bisa melakukan langkah-langkah taktis dalam
mengelola aset wakaf yang ada. Contoh lembaga wakaf dengan tipe seperti ini
adalah Yayasan Darul Azkar dan Yayasan Husnayain
Yayasan Darul Azkar. Tanah
wakaf yayasan Darul Azkar diperuntukkan untuk sosial, ibadah (masjid), dan
pendidikan (Sekolah). Lokasi tanah strategis berada di tengah perkotaan, akses
terminal Lebak Bulus, dekat dengan perumahan elit, tanah wakaf yayasan Darul
Azkar cukup luas dari lahan yang telah dimanfaatkan untuk bangunan sekolah,
gedung serbaguna, dan masjid. Total keseluruhan tanah wakaf yayasan darul Azkar
senilai 8.000 m², sisa lahan masih kosong 4.000 m² dengan perkiraan nilai aset
sebesar 92 milyar rupiah. Kesuksesan dalam pengelolaan tentunya tidak lepas
dari peran nazir yang profesional, berlatar belakang pendidikan akademi
perhotelan serta pengalaman berorganisasi yang tentunya cukup membuat
masyarakat percaya dalam mengelola tanah wakaf hingga sukses. Yayasan ini juga
berencana untuk memanfaatkan lahan yang belum digunakan untuk membuat bisnis
restoran waralaba. Dengan lokasi strategis, aset besar, nazir profesional
dengan wawasan agama dan bisnis yang baik serta pengelolaan berbasis organisasi
modern, yayasan ini sudah menjalankan wakaf produktif dan sangat berpotensi
untuk pengembangan wakaf produktif ke level selanjutnya.
Yayasan Husnayain. Yayasan ini
dikenal dengan nama yayasan Masjid Abu Bakar Ash-Shidiq, berlokasi di Pekayon,
Pasar Rebo, Jakarta Timur. Yayasan wakaf ini memiliki luas tanah wakaf sebesar
6.524 m² dan baru digunakan sebesar 5.000 m². Lahan-lahan tersebut, selain
digunakan sebagai masjid dan lembaga pendidikan Islam, difungsikan juga menjadi
unit-unit bisnis yang produktif. Beberapa unit bisnis seperti klinik, rumah
sakit, apotik, kantin, kios, swalayan mini, hingga pusat ATM pun dapat dijumpai
di yayasan wakaf ini. Sementara sisa lahan yang ada, sebesar kurang lebih 1.000
m², ketika penelitian ini wakaf produktif tidak lain berkat usaha nazir, yang
juga ulama kenamaan, KH. Ahmad Cholil Ridwan. Sebagai seorang yang sangat
berpengaruh, tentu saja modal sosial jaringan yang ia miliki sangat besar. Bisa
dikatakan pengembangan yayasan wakaf yang progresif berawal dari kyai Cholil.
Selain itu, ia pun, sebagai seorang cendekiawan Muslim, dikenal sebagai sosok
yang cerdas, kreatif, dan penuh dengan ide-ide brilian dalam pengembangan
masyarakat Muslim.
Dalam konteks wakaf produktif, dua yayasan di
atas merupakan best practices yang dapat dicontoh oleh yayasanyayasan wakaf
lain. Dengan sumber daya manusia yang handal, manajemen dan tata kelola
organisasi yang apik, yayasan ini berhasil memperlihatkan bagaimana agama dan
dunia yang penuh dengan hal materialistis itu bertemu dan bersinergi dengan
sangat baik, sehingga fungsi wakaf bisa menjadi maksimal.
Aset
Besar Potensi Nazir Cukup
Tipe kedua wakaf dengan aset besar dan nazir
yang cukup baik, bisa dianggap pada tingkat kedua sebagai tipe yang berpotensi
untuk berkembang menjadi wakaf produktif. Sementara dari segi aset, tanah wakaf
yang berada di kelompok ini tidak jauh berbeda dengan kelompok yang pertama.
Namun aset besar tidak melulu menjadi potensi besar untuk pengembangan ke wakaf
produktif. Beda tipe kedua dengan yang tipe pertama adalah pada potensi nazir.
Nazir di tipe kedua ini wawasannya tidak seprogresif di tipe pertama. Nazir
cenderung mengelola aset wakaf apa adanya, berpegang pada konsep lama tentang
wakaf, tanpa pengembangan-pengembangan taktis bagi aset wakaf yang dikelolanya. Selain itu, di kelompok kedua
ini, manajemen wakaf yang diaplikasikan belum secanggih yang pertama. Memang,
kelompok ini secara umum sudah mempraktikkan wakaf produktif, tetapi masih pada
tataran standar. Oleh karenanya, kelompok ini dikategorikan ke kelompok wakaf
dengan potensi cukup. Adapun contoh tipe ini adalah Yayasan Kramat Payungan
Hidayatullah, Yayasan Masjid AlBirru, dan Yayasan Masjid Al-Barkah.
Yayasan Kramat Payungan Hidayatullah. Nama
Kramat Payungan berangkat dari sejarah tanah wakaf yang semula ditemukan benda
kramat di atasnya. Proyek ini gagal untuk dituntaskan dan saat ini hanya
tinggal kerangka pondasi bangunan yang sudah memburuk. Yayasan ini terbilang
cukup strategis dan ramai mudah dijangkau transportasi karena berada di jalan
raya Cipayung dan mudah diakses oleh tol Jagorawi. Selain itu, yayasan ini pun
sudah berbadan hukum. Saat ini di atas tanah wakaf seluas 1.000 m² berdiri bangunan
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang masih sangat memprihatinkan. Masih
tersisa seluas 3.000 m² tanah wakaf yang masih kosong. Tanah wakaf yayasan
Kramat Payungan memiliki potensi yang cukup untuk bisa dikembangkan menjadi
wakaf produktif selain karena memang sisa lahan yang cukup besar, hanya saja
faktor usia Nazir dan kurangnya wawasan tentang manajemen yang profesional
menyebabkan nazir tidak bisa optimal dalam mengembangkan tanah wakaf yayasan
Kramat Payungan. Tidak banyak inisiatif dari nazir maupun pengurus lain untuk
mengembangkan yayasan ini sehingga label yayasan pada tanah wakaf baru sebatas
nama. Jauh dari fungsi yayasan yang seharusnya. Masih menunggu dan berharap
uluran tangan pihak investor ataupun pemerintah agar dapat memfasilitasi dan membuka
pintu bagi yayasan sehingga manfaatnya lebih bisa dirasakan masyarakat sekitar.
Yayasan Wakaf Masjid Al-Barkah. Yayasan
wakaf ini letaknya di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, yang notabene adalah
lokasi yang strategis di ibukota Jakarta. Dengan luas tanah sebesar 5.000 m²,
dimanfaatkan 4.500 m², yayasan wakaf ini sangat potensial untuk dikembangkan
lebih jauh lagi. Sementara sisa lahan yang ada, 500 m², dimanfaatkan jadi lahan
parkir. Namun sayang, tanah dan bangunan wakaf di yayasan ini terlihat tidak
terawat akibat manajemen yang masih tradisional. Nazir melakukan pengembangan
dengan cara tradisional, yaitu bergantung pada sumbangan dana dari pihak luar.
Dengan cara seperti ini, biaya operasional tidak bisa tertutupi. Kepemimpinan
nazir perlu didorong untuk lebih kreatif dan memiliki wawasan fikih progresif
sehingga potensi aset besar bisa dimanfaatkan dengan maksimal setidaknya untuk
membiayai operasional masjid.
Yayasan Masjid Al-Birru. Yayasan
wakaf ini awalnya merupakan tanah wakaf pemberian Kementerian Kesehatan. Luas
tanah wakaf yang dimiliki sebesar 2.166 m² itu sebagian (866 m²) disewakan
untuk unit-unit usaha menengah ke bawah. Beberapa jenis usaha yang dapat
ditemukan misalnya, usaha pangkas rambut, usaha warung makan tegal, dan
tokotoko kelontong yang menjual sembako bagi masyarakat setempat. Lembaga
pendidikan untuk usia dini pun juga bisa ditemukan di dalam yayasan wakaf
masjid ini. Unit-unit usaha tersebut, dapat terwujud karena modal pribadi sang
nazir. Ia rela mengorbankan harta pribadinya guna mengembangkan yayasan wakaf
makam tersebut. Hanya saja, karena diinisiasi
lewat dana pribadi, keberlanjutan pengelolaan
yayasan wakaf kemudian lebih dibantu oleh keluarga nazir dan kurang ada
regenerasi yang melibatkan masyarakat secara lebih luas.
Ketiga contoh ini menunjukkan bahwa nazir
menjadi isu sentral untuk bisa mengembangkan potensi lahan yang ada. Karenanya,
bisa jadi tipe ketiga di bawah, jauh bisa menjanjikan untuk pengembangan wakaf
produktif.
Aset
Kecil Potensi Nazir Tinggi
Ketiga adalah kelompok wakaf yang memiliki
aset kecil dengan potensi nazir tinggi. Dengan kata lain, kelompok ini memiliki
potensi Sumber Daya Manusia (SDM) yaitu nazir yang tinggi ketimbang Sumber Daya
Alam (SDA) atau aset yang dimiliki. Dalam artian, potensi nazir di kelompok ini
yang justru menjadi aset besar. Selain itu, jika diamati dari sisi lokasi aset
wakaf, kelompok ini sebenarnya terbilang strategis. Hanya saja sisa lahan yang
dimiliki sangat terbatas, rata-rata paling besar 1.000 m², bahkan ada juga 840
m², berbeda dengan kelompok satu dan dua yang memiliki aset lebih dari 1.000
m². Oleh karenanya kelompok ini dikatakan memiliki aset kecil. Uniknya,
meskipun terjadi ketimpangan dengan minimnya jumlah aset dan tingginya potensi
nazir, nyatanya kelompok ini mampu mengembangkan wakaf produktif dengan baik
hingga memiliki unit bisnis sendiri. Yayasan Wakaf Masjid Baiturrahman. Yayasan
wakaf masjid ini berlokasi di Pelumpang Semper, Rawa Badak Selatan Jakarta
Utara, awalnya merupakan empang yang ditimbun oleh pemerintah menjadi lahan
pemukiman. Total luas tanah wakaf ini 1.600 m², dan awalnya adalah hak guna
pakai yang kemudian oleh pemerintah DKI dihibahkan kepada masyarakat (kemudian
dijadikan wakaf) untuk dibangun masjid.
Dan dibangunlah masjid Baiturrahman pada tahun 2012. Masjid ini dikelola dengan
baik dengan organisasi yang berjalan baik. Perawatan aset wakaf ini diambil
dari donatur tetap, donatur masyakat, serta sewa rumah kontrakan. Setengah dari
tanah wakaf bangunan masjid berlantai dua nan megah. Konsep masjid lantai
pertama untuk gedung serbaguna yang disewakan untuk pernikahan, pertemuan dan
lain sebagainya sementara lantai dua khusus dijadikan tempat ibadah sholat.
Masih area sekitar lokasi masjid tepatnya posisi belakang sudah banyak bangunan
berupa rumah kontrakan dan unit bisnis lainnya. Nazir di Masjid Baiturrahman
mengelola secara profesional dan modern. Sehingga, pemahaman yang memadai
terkait wakaf produktif sudah tidak diragukan.
Yayasan Nur Assailina. Pada tahun 1973
berdiri Yayasan Nur Assailina di atas tanah wakaf seluas 2.500 m². Posisi tanah
wakaf berada di pinggir jalan yang dikelilingi rumah-rumah warga, terdapat juga
pertokoan, dan pusatpusat bisnis. Lokasi tanah wakaf berada kisaran 2-3 km dari
Lenteng Agung. Yayasan Assailina dikelola oleh seorang nazir profesional,
konsep wakaf produktif yang matang sehingga menjadikan Yayasan Assailina
berkembang baik. Lahan tanah wakaf yang tersisa saat ini hanya 1000 m²,
meskipun sedikit tanah sisa yang ada, tidak merubah pola pikir pihak nazir
untuk gigih mencari donatur yang bisa membantu membiayai mengembangkan lahan
kosong untuk bangunan unit-unit bisnis. Lokasinya yang strategis di pinggir jalan
dan berada di tengah pemukiman warga menjadi motivasi bagi pihak yayasan untuk
terus optimal dalam mengembangkan yayasan Nur Assailina.
Yayasan Wakaf Masjid Al-Abrar. Yayasan wakaf
masjid ini berdiri di atas tanah seluas 2.100 m² yang berlokasi di Jl. Danau
Tondano, Bendungan Hilir Jakarta Pusat. Masjid ini awalnya merupakan tanah/aset
milik pemerintah DKI Jakarta. Bekat kemampuan nazir didukung oleh masyarakat
sekitar akhirnya status masjid ini menjadi kepemilikan masyarakat (wakaf).
Kini, masjid ini sudah mengalami dua kali renovasi, nilai asetnya pun semakin
bertambah. Lokasinya yang strategis, yaitu terletak di pinggir jalan menjadikan
masjid ini ramai pengunjung. Pendapatan terbesar masjid ini berasal dari
sumbangan infak warga dan jamaah masjid. Pendapatan tersebut digunakan untuk
menggaji marbot (pengurus masjid) dan kegiatan operasional lainnya, seperti
perawatan bangunan. Dari sisi nazir, wakaf ini dikelola oleh Sanusi, pensiunan
guru SD yang mendedikasikan hidupnya sebagai pengurus masjid. Pengetahuan
Sanusi tentang wakaf terbilang sangat baik, tidak jarang ide pengembangan wakaf
produktif selalu ia gagas. Kini, meskipun aset tanah wakaf terbilang kecil,
Sanusi memanfaatkan sisa tanah wakaf untuk mendirikan koperasi, dan klinik
kesehatan dengan memberikan fasilitas ambulan gratis untuk warga.
Ketiga yayasan wakaf ini merupakan contoh
wakaf produktif yang telah dikelola dengan baik, meskipun luas aset tanah yang
minim, ternyata bisa menghasilkan (produktif) dan menjadi pusat keagamaan yang
bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Lagi-lagi keberhasilan wakaf ini
berkat nazir yang mampu mengelola aset wakaf dengan baik.
Aset Kecil
dan Potensi Nazir Rendah
Dengan aset kecil dan potensi nazir rendah,
lembaga wakaf yang masuk tipe ini adalah lembaga yang sulit untuk bisa
dikembangkan sebagai wakaf produktif. Di antara alasannya adalah tidak adanya
motivasi para nazir untuk mengembangkan aset wakaf karena pemahaman
konvensional yang tidak membolehkan perubahan/inovasi peruntukan lahan. Alasan
kedua masih pada kapasitas nazir serta masyarakat sekitarnya yang rendah, minim
krativitas serta wawasan. Selain itu memang minimnya aset wakaf yang ada.
Yayasan Wakaf Masjid Darussalam Al-Amin. Yayasan masjid ini memiliki luas tanah
wakaf sebesar 1.000 m², berlokasi di jalan Raya Kali Baru Timur Kosambi Raya,
Jakarta Utara. Dari luas tanah wakaf tersebut, 400 m² digunakan untuk
pembangunan masjid dan lembaga pendidikan, sisanya 600 m² digunakan sebagai
tempat parkir. Yayasan masjid ini juga tidak memiliki unit bisnis mengingat
sisa lahan wakaf tidak begitu luas. Masyarakat belum bisa menerima konsep wakaf
produktif dengan alasan adanya kekhawatiran pemanfaatan oleh pengurus, dan
keterbatasan sumber daya pengelola. Meskipun begitu, wakaf masjid ini berusaha
dikelola dengan baik oleh seorang karyawan BUMN yang pernah mengenyam
pendidikan di STM Perkapalan. Walau nazir cukup baik, tapi kapasitas rendah,
SDM kurang, dan nazir tidak mendapat dukungan masyarakat untuk memproduktifkan
wakaf. Yayasan Masjid Al-Muflihun. Masjid Al-Muflihun ini konon merupakan salah
satu masjid tertua di Jakarta yang didirikan pada masa Belanda. Total luas
wakaf masjid ini 4.000 m² yang dimanfaatkan sebagian tanahnya untuk masjid dan
pemakaman. Tanah wakaf ini dikelola dengan baik oleh seorang nazir lulusan
sarjana teknik. Namun latar belakang pendidikan nazir yang bukan dari bidang
agama, menjadi kendala, dan nazir tidak menguasai konsep wakaf, apalagi wakaf
produktif. Masjid digunakan sebagai tempat majlis taklim dan TPA. Dan unsur
kegiatan sosialnya cukup tinggi. Misalnya kepedulian untuk memberikan area
pemakaman yang harganya terjangkau oleh masyarakat. Namun kepedulian ini
dilakukan dengan cara konvensional, dengan membongkar bangunan yang ada untuk
penggunaan makam warga. Pembangunan makam tanpa perencanaan pun hanya akan bisa
membantu secara terbatas saja.
Tipologi Yayasan wakaf seperti
dua contoh terakhir ini sangat umum ditemukan di masyarakat. Apakah memang
asetnya terbatas, sumber daya nazir yang terbatas, atau bahkan kondisi lingkungan
masyarakatnya yang tidak mendukung. Kombinasi berbagai faktor ini yang
menjadikan tantangan bagi pengembangan wakaf produktif.
Penutup
Gambaran empat tipologi wakaf di
atas menjadi masukan bagi lembaga-lembaga wakaf di luar Jakarta, lebih luas di
Indonesia, untuk berintrospeksi diri, melihat kondisi lembaga wakaf seperti apa
yang ada di sekitar kita, dan kemudian mencari solusi atas tantangan tersebut.
Aset wakaf dan potensi seorang nazir dalam hal ini sangat berpengaruh besar
terhadap perkembangan dan keberlangsungan sebuah lembaga wakaf. Meskipun
lembaga wakaf di Jakarta tidak semua dikatakan baik, namun ada beberapa lembaga
wakaf yang bisa menjadi contoh bagi lembaga wakaf di Indonesia, seperti
tergambar pada tipologi wakaf pertama, kedua dan ketiga.
Selain itu, nyatanya bukan
menjadi alasan jika aset sebuah lembaga wakaf berjumlah kecil, manakala potensi
seorang nazir sangat baik, lembaga wakaf akan berkembang dengan baik karena
nazir selalu tergerak untuk mengembangkan lembaga wakafnya. Lain halnya, jika
aset dan potensi seorang nazir tidak memadai untuk mengembangkan wakaf.
Temuan empat tipologi di atas,
besar kemungkinan bisa juga ditemukan di wilayah-wilayah di Indonesia. Oleh
karenanya, ke depan, temuan empat tipologi di atas bisa menjadi masukan kepada
pemerintah akan perkembangan wakaf di Indonesia, terutama di Jakarta.
Setidaknya, pemerintah turut andil pada beberapa hal. Pertama, pemerintah perlu
melakukan pendataan ulang lembaga wakaf beserta aset wakafnya, ini dilakukan
untuk memetakan kondisi setiap aset wakaf di Indonesia termasuk kondisi potensi
nazir dan lingkungan masyarakatnya. Kedua, pemerintah perlu membantu
memproduktifkan 10 aset wakaf paling strategis di tiap kota besar di Indonesia.
Hal ini menjadi langkah awal dan menjadi percontohan, karena aset wakaf di
kota-kota besar bernilai jual tinggi. Ketiga, pemerintah perlu memberikan
pelatihan yang memadai bagi nazir untuk mengembangan wakaf.
*********************************
Kontributor: Dr. Amelia Fauzia; Nani Almuin, M.A Tati Rohayati Endi Aulia Garadian. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy
Umar, MA, CPIF.
Email: ustazsofyan@gmail.com