Skip to main content

Potensi Wakaf Produktif (di DKI Jakarta)



Potensi Wakaf Produktif (di DKI Jakarta)


Pendahuluan

Perkembangan wakaf di Indonesia kian hari kian meningkat. Hal ini terlihat dari bertambahnya jumlah dan obyek harta wakaf, baik berupa tanah, uang, dan lainnya, yang tersebar di berbagai penjuru di Indonesia. Data rekap tanah wakaf selalu mengalami kenaikan. Misalnya, data tahun 2010 menyebutkan ada 415.980 obyek tanah wakaf di seluruh Indonesia (lampiran 1). Data tahun 2013 (yang dilaporkan tahun 2014) jumlah ini meningkat menjadi 435.395 obyek tanah wakaf (lampiran 4). Data tahun 2013 menyebutkan ada 414.246,429 hektar luas tanah wakaf yang ada di Indonesia. Bayangkan berapa nilai tanah wakaf itu jika dihitung dengan nilai rupiah saat ini. Wakaf uang misalnya yang di tahun 2010 dimulai oleh Gerakan Wakaf Uang BWI dengan nilai 2 milyar rupiah, tahun 2015 total pengumpulannya ada sekitar 185 milyar (Divisi Kenaziran BWI, 2016). Jumlah-jumlah tersebut pun terus meningkat setiap harinya. Ini aset yang luar biasa besar dan sangat potensial. Dan ini berarti, bila dikembangkan dan dikelola secara baik, wakaf bisa menjadi pilar baru dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Perkembangan praktik dan penambahan jumlah obyek tanah wakaf di atas juga sejalan dengan peningkatan studi tentang wakaf di Indonesia.

Namun sayang, realita lapangan menunjukkan bahwa data wakaf sebanyak itu yang bisa menjadi potensi ekonomi luar biasa hanyalah potensi di atas kertas, yang lama kelamaan bisa “mati” bila tidak dikelola dan dikembangkan dengan baik. Di DKI Jakarta saja misalnya, seperti halnya dijelaskan lebih jauh pada BAB II, hampir semua wakaf tanah yang ada diproyeksikan guna kepentingan tempat ibadah (masjid dan mushalla), tidak dikombinasikan dengan fungsi lain semisal pendidikan atau bahkan pengembangan ekonomi umat. 2 Fenomena Wakaf di Indonesia: Tantangan menuju Wakaf Produktif Prosentase peruntukan aset wakaf di DKI angkanya mencapai 51% untuk mushalla dan 32% untuk masjid sehingga total jumlahnya 83% (Kanwil DKI Jakarta, 2008, lihat lampiran 3). Sisanya barulah ada yang peruntukkan bagi makam, sekolah/madrasah, dan kepentingan sosial.

Gambaran seperti di DKI ini adalah fenonema umum yang bisa ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia, bahwa mayoritas aset wakaf diperuntukkan jadi tujuan ibadah ritual. Tidak salah dengan peruntukan ini. Hanya sayang, pembacaannya menjadi sangat letterlijk dan tidak membuka kemungkinan untuk pengembangan ekonomi dan sosial yang dimodifikasi dari peruntukan tersebut. Sekalipun tersedia lahan di areal tempat ibadah, proyeksi penggunaan lahan pun sudah dapat dipastikan sebagai perluasan tembat ibadah saja, tidak untuk tujuan sosial, pendidikan atau ekonomi produktif bagi masyarakat. Jumlah tanah wakaf yang digunakan untuk kegiatan produktif sangat sedikit. Mengapa demikian?

Ada beberapa alasan. Pertama, masih cukup banyak para nazir yang mengelola wakaf dengan cara konvensional, bila tidak ingin disebut tradisional. Apa yang dibayangkan para nazir sebagai wakaf masihlah sangat sederhana. Wakaf masih dipahami sebagai aktivitas menyerahkan sebagian harta benda guna dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu untuk dimanfaatkan sebagai keperluan ibadah yang notabenenya tidak boleh dibisniskan.

Kedua, masih banyak para wakif yang mewakafkan hartanya memang diperuntukkan untuk pembangunan tempat ibadah. Apalagi, gejala ini menjadi semakin krusial karena kebanyakan para wakif, dengan meminta pertolongan pada anggota keluarganya yang masih hidup, mewakafkan hartanya sesudah mereka meninggal. Artinya, status harta wakaf tersebut menjadi wasiat bagi keluarganya yang mau tidak mau, harus dijalankan.
Ketiga, masih banyak anggapan di masyarakat bahwa menyalurkan harta wakaf guna dijadikan pemberdayaan ekonomi berpotensi besar dalam menyulut konflik. Bagi masyarakat yang berada pada situasi ini, wakaf merupakan salah satu bentuk ibadah terhadap Ilahi yang sifatnya sangat sakral. Bila niat yang awalnya ditujukan untuk ibadah ini kemudian berujung pada konflik dan mengganggu kekhusukan ibadah, maka sebaiknya dari awal harta wakaf langsung saja diperuntukkan menjadi masjid atau mushalla. Padahal contoh-contoh awal wakaf pada masa Nabi yang tersebar adalah wakaf perkebunan. Namun wakaf perkebunan atau lainnya yang produktif ini belum menjadi tren karena memang perkembangan ekonomi terpisah dengan perkembangan keagamaan.

Dari pemahaman konsep-konsep berwakaf yang demikian, sudah dapat dipastikan bahwa potensi wakaf tidak akan bisa dikembangkan seluas-luasnya. Paradigma keliru yang masih terpelihara di atas sudah seharusnya diubah bila ingin melihat wakaf bisa berkembang pesat. Sungguh miris apabila potensi yang luar biasa besar tersebut hanya akan menjadi aset “mati suri” karena salah urus sejak awal. Jangan biarkan potensi-potensi wakaf yang luar biasa signifikan itu menguap begitu saja.
Mengembangkan Potensi Wakaf, Membangun Masyarakat
Satu imajinasi yang perlu dirawat dan ditumbuh kembangkan di alam pikir para pengelola wakaf adalah perlunya inovasi tanpa henti di tengah perkembangan zaman. Para pengelola wakaf dengan bantuan segenap pihak yang bersangkutan, sedianya, harus menjadi motor penggerak kemajuan ekonomi kerakyatan. Apalagi bila kita melihat ekonomi kerakyatan yang diampu negara, dalam bentuk koperasi misalnya, belum berjalan secara maksimal dan bahkan relatif “jalan” di tempat. Wakaf perlu dikembangkan ke arah wakaf produktif, sebagaimana yang digalakkan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI), agar pembangunan umat dapat terbantu.

Dengan wakaf produktif, diharapkan institusi keagamaan dapat menjadi sektor-sektor strategis dalam pembangunan masyarakat. Oleh karenanya, pengembangan dan peningkatan kapasitas para nazir pun harus dilakukan. Para pengelola wakaf sudah seharusnya secara perlahan merubah orientasi pengurusan wakaf menjadi profesional, walau tidak melulu harus produktif. Aset wakaf sebisa mungkin tidak saja memiliki nilai sosial, tapi juga nilai ekonomis. Tanah wakaf yang terabaikan atau belum termanfaatkan, misalnya, bisa dimanfaatkan menjadi gedung perkantoran, ruko, swalayan, pabrik, kontrakan, restoran, bank cabang pembantu, atau TK ataupun PAUD. Lebih jauh, wakaf dengan peruntukan pendirian masjid pun bisa dimodifikasi dengan membangun gedung serbaguna baik di lahan yang sama atau di bagian bawah masjid, yang dapat disewakan untuk acara resepsi pernikahan, ruang pertemuan, ruang rapat, dan mungkin untuk acara seminar. Sehingga, operasional masjid bisa terbantu dengan pemasukan dari ruang/gedung pertemuan tersebut.

Sementara itu, manfaat wakaf yang berupa uang atau jasa, wakaf dapat diberdayakan guna pengembangan kapasitas masyarakat. Beberapa bentuk pengembangannya, sebagai contoh, dapat berupa, pertama, aktivitas bina sosial yang berisi program pelatihan kerja dan usaha bagi para pengangguran, penanganan dan rehabilitasi anak jalanan ataupun rehabilitasi masyarakat yang mengidap penyakit masyarakat (narkoba, premanisme, prostitusi).

Kedua, manfaat wakaf pun dapat dipergunakan untuk membantu pengembangan lembaga pendidikan di daerah-daerah terpencil. Bentuknya beragam, seperti pendirian sekolah gratis, bantuan bukubuku pelajaran, maupun pakaian seragam. Selain itu, beberapa bantuan lain yang dapat diberikan dalam hal pendidikan adalah pemberian bantuan peralatan-peralatan penunjang pendidikan, pemberian beasiswa bagi anak berprestasi maupun tidak mampu, dan pemberian honor guru-guru yang mengabdikan ilmunya dengan sungguhsungguh, sebagaimana yang banyak terjadi di daerah-daerah pelosok.

Di bidang kesehatan, ketiga, wakaf uang pun dapat dipergunakan untuk melakukan penyuluhan-penyuluhan misalnya terkait hidup sehat. Mengingat kesadaran masyarakat Indonesia terkait hidup sehat masih sangat minim bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Pembangunan fasilitas-fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, klinik bersalin, puskesmas, dan bahkan MCK yang layak, bisa jadi salah satu bentuk wakaf produktif yang bermanfaat untuk umat. Dan, tentu saja, program-program pengobatan umum dan perbaikan gizi anak juga perlu dilakukan.

Keempat, wakaf dapat membina masyarakat menjadi mandiri secara ekonomi. Karenanya, alangkah baiknya jika manfaat wakaf dapat disalurkan menjadi modal bergulir bagi pengusaha kecil. Meskipun begitu, pemberian modal ini harus diikuti dengan program pelatihan dan pembinaan bagi pengembangan kapasitas pengusaha kecil. Bantuan kepada kelembagaan keuangan usaha kecil mikro (BMT, Koperasi Syariah, BPRS) pun jangan lupa dilakukan.

Perluasan nilai manfaat dari aset wakaf produktif yang semacam ini belum begitu populer, karena umumnya wakaf masih dikelola dengan cara yang sederhana. Namun sebagiannya telah dipraktikkan terutama oleh beberapa institusi wakaf yang ada di perkotaan. Hal ini menunjukkan kesadaran akan pengembangan wakaf menjadi wakaf produktif sebetulnya cenderung terbentuk secara perlahan-lahan.

Sebagai salah satu bentuk filantropi, keberadaan wakaf berkorelasi positif terhadap penguatan civil society (masyarakat madani). Mengapa demikian? Praktik wakaf menopang perekonomian masyarakat. Bila wakaf produktif berhasil menstabilkan perekonomian rakyat, hal ini mendukung penguatan kesejahteraan. Wakaf menjadi penguat masyarakat sipil, tidak saja dari aktivitas keuangan yang dikelola, tapi juga aktivitas sosial yang mendorong penguatan masyarakat sipil. Salah satu faktor penting yang menopang demokrasi di suatu negara adalah kuatnya modal sosial, yaitu kesadaran untuk melakukan kebajikan, melakukan kedermawanan, voluntarisme bagi orang lain dan masyarakat umum. Dengan demikian, praktik wakaf mendorong pada penguatan demokrasi di Indonesia. Terlebih lagi beberapa studi sudah memperlihatkan di berbagai tempat bahwa filantropi (wakaf adalah salah satu bentuk praktik filantropi) merupakan tanda dari keberadaan civil society (Fauzia, 2016). Wakaf secara tidak langsung berperan mempererat persatuan bangsa. Sebab, masyarakat secara sadar turut berkontribusi dalam pembangunan masyarakat. Dalam wakaf, masyarakat pun secara sukarela mendermakan hartanya untuk perubahan masyarakat menuju arah yang lebih baik.

BWI dan Upaya Pengembangan Wakaf Produktif
Mari menengok kembali Undang-Undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah no. 42 Tahun 2006. Di situ dikatakan bahwa BWI diberikan amanat untuk mengembangkan pengelolaan perwakafan di Indonesia ke arah yang lebih profesional dan produktif sehingga wakaf benar-benar mampu memberi sumbangan positif pada perekonomian negara. Berangkat dari situ, tegas dikatakan bahwa BWI punya peran sentral dalam mengelola aset-aset wakaf yang ada di Indonesia. Maka dari itu, seyogyanya, BWI harus menjadi patron bagi para nazir dalam pengembangan wakaf produktif di Indonesia.

Peran pembinaan terhadap nazir-nazir yang ada di Indonesia pun menjadi tanggung jawab BWI dan juga Kementerian Agama melalui direktorat Zakat dan Wakaf. Pembinaan nazir ini bertujuan untuk meningkatkan profesionalitas nazir dalam mengelola harta benda wakaf sehingga wakaf benar-benar dapat memberi manfaat yang maksimal dalam mewujudkan kesejahteraan umat. BWI berupaya melakukan pembinaan nazir, namun dengan jumlah nazir yang hampir setengah juta dan tersebar di seluruh pelosok Indonesia tugas ini menjadi tidak mudah.

BWI juga berupaya melakukan kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil, para ahli, badan internasional, dan pihak-pihak yang dirasa penting guna kemajuan wakaf di Indonesia. Bahkan, tujuan pembentukan BWI pun diharapkan dapat menjalankan beberapa fungsi seperti fungsi motivator (memotivasi para nazir yang ada di Indonesia), fasilitator bagi para nazir, dan regulator (menciptakan regulasi-regulasi guna kemajuan dunia perwakafan). Guna mengembangkan wakaf, BWI memiliki Divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) yang melakukan penelitian empirik terkait praktik-praktik wakaf di Indonesia. Beberapa upaya yang dilakukan divisi tersebut, melakukan penelitian, dan menyebarkan hasil penelitian itu untuk dapat mendorong perubahan praktik ke arah yang lebih baik. Salah satu bukti kongkritnya adalah buku ini.

Terakhir, lewat buku ini, BWI berupaya menghadirkan hasil-hasil penelitian BWI selama sepuluh tahun terakhir. Memang, buku ini belum sempurna. Tapi paling tidak, buku ini menjadi salah satu upaya BWI guna mensyiarkan permasalahan dan solusi pengembangan wakaf di Tanah Air. Buku ini dapat menjadi pemandu untuk melihat kondisi dunia perwakafan di Indonesia.

POTENSI WAKAF PRODUKTIF DI DKI JAKARTA
Latar belakang
Potensi wakaf untuk memajukan perekonomian masyarakat semakin memikat banyak kalangan. Hal ini bukannya tanpa alasan. Beberapa sumber, misalnya, menunjukkan bahwa banyak tanah wakaf di Indonesia yang nyatanya berpotensi dan berpeluang untuk bisa dikembangkan menjadi lebih besar lagi. Apalagi, untuk tanah-tanah wakaf yang berlokasi di daerah industri ataupun sentral bisnis pada kota-kota besar, itupun belum termasuk dengan tanah-tanah yang ada di pedesaan. Temuan penelitian Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Nadjib dan Al-Makassary, ed, 2006) pun memperkuat hal ini dengan menunjukkan beberapa fakta lapangan seperti: (1) luasnya tanah wakaf yang telah teridentifikasi (154 ribu hektar) oleh Kementerian Agama (Kemenag); (2) tanah wakaf tersebut mempunyai nilai uang yang relatif besar (590 triliyun rupiah); dan (3) mayoritas tanah wakaf tersebut dikelola secara baik oleh civil society (nazir perorangan, organisasi, yayasan, kelompok masyarakat, organisasi sosial).

Di Jakarta, paling tidak tercatat ada lima ribu lebih lokasi tanah wakaf yang tersebar di berbagai kotamadya. Banyak di antaranya diperuntukkan sebagai tempat ibadah (mushalla atau masjid), pemakaman umum, maupun lembaga pendidikan Islam. Namun sayang, masih banyak tanah wakaf tersebut tidak berdampak pada kemajuan ekonomi masyarakat sekitar. Alihalih menghilangkan, mengurangi kemiskinan saja masih banyak lembaga pengelola wakaf (nazir dan seperangkat agen wakaf lainnya) yang belum mampu. Dalam kasus ini, terutama Jakarta, wakaf masih ditempatkan sebagai media untuk memperbanyak modal keberagamaan, tapi melupakan modal-modal lainnya yang lebih bersifat pada kemajuan hajat hidup umat sekitar.

Penyusunan buku ringkasan penelitian memberikan informasi yang akurat dan up to date terkait masalah perwakafan. Isi buku tidak hanya mengksplorasi hasil penelitian badan wakaf Indonesia dari tahun 2012 sampai 2016 namun juga memberikan informasi terkait hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa instansi yang dibuat dalam bentuk tesis dan disertasi.

Metodologi
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang meliputi kajian lapangan dan pustaka dengan melibatkan beberapa lembagalembaga wakaf di Jakarta. Metode studi kasus digunakan menganalisis lebih jauh potensi-potensi tanah wakaf yang ada di DKI Jakarta. Untuk itu, beberapa aspek akhirnya ditentukan saat memilih lembaga wakaf yang ingin dijadikan studi kasus, seperti: (1) memiliki sertifikat wakaf; (2) memiliki luas tanah lebih dari 1000 m²; (3) memiliki kelebihan bangunan diatas 500 m², dan (4) tanah wakafnya diperuntukkan selain untuk pemakamanan.

Dari sekitar 1301 lokasi tanah wakaf yang tersebar di Jakarta (data base tanah wakaf: Kemenag, 2006), terdapat 108 lokasi tanah wakaf yang memiliki aset tanah di atas 1000 m². Kemudian, dari 108 tanah wakaf tersebut, ditarik sampel penelitian sebesar 20% per kotamadya di DKI Jakarta, sehingga didapatkan sebanyak 24 tanah wakaf yang dipilih sebagai studi kasus

Untuk pengumpulan data sebagai bahan penelitian, peneliti ini mengobservasi 24 tanah dan asset wakaf, melakukan wawancara kepada nazir (pengelola wakaf), wakif (pemberi wakaf), dan mauquf alaihi (penerima manfaat wakaf) dari tanah wakaf tersebut (total 63 narasumber), dan terakhir adalah mencari dokumen pendukung (misalnya sertifikat dan organisasi struktur pengurus) keberadaan dan aktivitas wakaf. Dari 24 lembaga wakaf yang diteliti, hanya 21 yang memenuhi kelengkapan data untuk dianalisa lebih jauh.

C. Menuju Wakaf Produktif ( di DKI Jakarta )
Jakarta adalah kota padat penduduk. Pasalnya, tanah Jakarta yang hanya seluas 661,52 km² itu ditempati kira-kira oleh 10 juta orang lebih. Padahal, bila dibandingkan dengan Singapura yang memiliki luas lebih besar, sekitar 719,1 km², jumlah penduduk Singapura justru jauh lebih sedikit, kira-kira hanya sekitar 6 juta orang. Pun sudah sesak dengan manusia, masih saja banyak orang yang berdatangan tiap harinya ke Jakarta. Arus urbanisasi ke Jakarta semakin tak terbendung. Namun, banyaknya masyarakat yang memilih berdomisili di Jakarta pun bukannya tanpa alasan. Tingkat pendapatan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan daerah lain, akses pendidikan yang baik, hingga kualitas hidup yang lebih terjamin membuat orang-orang di luar Jakarta rela meninggalkan kehidupannya di daerah hanya untuk tinggal di Ibukota.

Lantas, apakah dampak yang dihasilkan dari sesaknya arus urbanisasi itu? Tentu saja banyak, mulai dari dampak positif hingga dampak, seringnya, negatif yang bermunculan akibat urbanisasi tersebut. Namun, satu hal yang pasti, urbanisasi menjadi salah satu faktor yang membuat harga tanah di DKI Jakarta terus melonjak harganya dan menjadikan tanah-tanah di Jakarta memiliki nilai jual yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Hal ini terlihat dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) DKI Jakarta yang relatif tinggi, bekisar dari 1 juta rupiah sampai dengan 32 juta rupiah. Sehingga, dapat diperkirakan bahwa nilai aset-aset wakaf yang berupa tanah di DKI Jakarta bisa mencapai di atas 1 milyar rupiah.

Bagian ini akan menjelaskan beberapa hal yang terkait dengan potensi wakaf yang ada di Jakarta. Mulai dari gambaran secara umum potensi wakaf DKI Jakarta, bagaimana sebaiknya pemanfaatan aset wakaf yang ada di DKI Jakarta, hingga proyeksi jangka panjang dalam memenuhi target wakaf produktif di Indonesia.

Gambaran Umum tanah wakaf di DKI Jakarta
Data Direktorat Wakaf Kementerian Agama RI (database jumlah tanah wakaf di DKI 2008 dan 2010) menunjukkan bahwa DKI Jakarta memiliki luas tanah wakaf yang luasnya hingga mencapai 93 km² (lihat lampiran 1, 2 dan 3). Ini menandakan bahwa 14% dari total luas tanah DKI Jakarta adalah tanah wakaf. Aset tanah wakaf di Jakarta pun terdapat di 5.661 lokasi yang tersebar di lima kotamadya. Aset wakaf cukup tersebar secara merata, kira-kira sekitar 17%, di tiga wilayah kotamadya yakni, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat. Lokasi aset wakaf sebagian besar terkonsentrasi di daerah Jakarta Timur dengan jumlah sebesar 28% dan Jakarta Selatan mencapai 27%.

Berdasarkan status sertifikat wakaf, sekitar 74% dari aset wakaf yang ada telah bersertifikat. Luas tanah wakaf yang sudah bersertifikat hanya 18% dari total luas aset wakaf di DKI Jakarta. Hal ini berarti sekitar 82% luas aset wakaf yang tersebar di 1.950 lokasi belum bersertifikat. Angka ini sebagian besar terkonsentrasi di Jakarta Timur dengan 7 km² pada 593 lokasi wakaf. Tidak banyak diketahui mengapa Jakarta selatan memiliki luas tanah 666.409 di 1.160 lokasi. Belum diketahui pula mengapa lokasi aset wakaf bersertifikat sebagian besar terdapat di Jakarta Selatan, apakah hal ini disebabkan oleh pelayanan pemerintah dan birokrasi wilayah tersebut bagus atau tingkat kesadaran nazir lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya di Jakarta?

Pemanfaatan aset wakaf
Hasil penelitian divisi Litbang BWI menunjukkan bahwa sejauh ini terdapat beberapa luaran dalam hal pemanfaatan aset wakaf yang ada di DKI, yaitu diantaranya, pemanfaatan aset untuk mushalla, masjid, madrasah, pesantren, makam, dan hajathajat sosial lainnya seperti pemberdayaan masyarakat ekonomi lemah. Selain itu, penelitian BWI juga memperlihatkan bahwa paham masyarakat Indonesia terkait pemanfaatan wakaf dalam benda bergerak seperti wakaf uang, saham, wakaf produktif, dan sejenisnya, masih menjadi momok di kalangan nazir. Hal ini diakibatkan, salah satunya, oleh cara pandang dan tingkat profesionalisme nazir dalam hal mengelola wakaf. Kita bisa lihat, bahwa sebagian besar aset wakaf yang ada masih dimanfaatkan mushalla (51%), masjid (32%), pesantren (8,7%), makam (0,3%) dan kegiatan sosial (0,1%). Wakaf masih berorientasi pada hal-hal yang bersifat transenden. Pendayagunaan wakaf lebih fokus pada ibadah ritual. Nazir yang “kreatif ” dalam mengembangkan asetaset tanah wakaf pun masih berbilang jari
Penggunaan aset wakaf untuk sosial/lain-lain mencapai 7.479.465 m² atau sekitar 79.9% dari luas aset wakaf DKI Jakarta. Selanjutnya penggunaan aset wakaf berdasarkan persebaran wilayah seperti masjid yang berdiri di atas tanah wakaf tampak lebih banyak di daerah Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Titik lokasi dari tanah-tanah wakaf tersebut di atas sangat strategis, berdekatan dengan pusat perniagaan, perkantoran, kampus, mall dan lain sebagainya. Jakarta memiliki potensi yang tinggi untuk pengembangan wakaf produktif. Potensi tidak hanya dari sisi modal aset yang bernilai ekonomi, tetapi modal sosial yang besar bagi pengembangan wakaf produktif.

Potensi Wakaf Produktif: Empat Tipe Lembaga
Setelah melakukan kajian di ke-21 tanah wakaf di Jakarta, studi ini menemukan empat tipe lembaga wakaf dilihat dari sisi potensi yang dapat dikembangkan menjadi wakaf produktif. Pengelompokan ini berangkat dari kesesuaian antara tingkat produktifitas dengan potensi nazir dan aset yang ada di setiap tanah wakaf. Apa yang dimaksud dengan potensi nazir dalam bab ini mengacu pada pemahaman nazir tentang wakaf produktif, gaya kepemimpinan, jaringan kerja, dan tingkat kepercayaan masyarakat kepada mereka (trust). Sementara di sisi lain, aset tanah wakaf dalam bab ini merujuk pada sisa lahan tanah wakaf yang belum digunakan, letak geografis tanah, dan manajemen pengelolaan. Empat tipe tersebut adalah: 1) wakaf dengan aset besar dan potensi nazir tinggi; 2) wakaf dengan aset besar dengan potensi nazir cukup; 3) wakaf dengan aset kecil dan potensi nazir tinggi; dan 4) lembaga wakaf yang tidak memungkinkan untuk diproduktifkan. Berikut ini penjelasan tentang keempat tipe tersebut.

1)     Aset Besar Potensi Nazir Tinggi
Tipe pengelompokan pertama adalah wakaf yang memiliki aset besar dengan potensi nazir tinggi. Dari sisi nazir, kelompok ini memiliki nazir dengan rekam jejak yang baik dalam pengelolaan aset wakaf. Selain itu, nazir dalam kelompok ini memiliki latar belakang pendidikan, pengalaman organisasi, personalitas, dan kapasitas kepemimpinan yang cenderung baik. Para nazir ini pun kerap disebut sebagai nazir profesional. Sementara dari sisi aset, tanah wakaf yang ada di dalam kelompok ini umumnya memiliki aset lahan yang luas. Tanah wakaf di kelompok ini pun umumnya berlokasi di tempat strategis serta sudah memiliki bangunan-bangunan multi-fungsi seperti ruko, koperasi, sekolah, hingga kantor. Artinya, nazir yang ada di dalam kelompok ini secara mandiri bisa melakukan langkah-langkah taktis dalam mengelola aset wakaf yang ada. Contoh lembaga wakaf dengan tipe seperti ini adalah Yayasan Darul Azkar dan Yayasan Husnayain
Yayasan Darul Azkar. Tanah wakaf yayasan Darul Azkar diperuntukkan untuk sosial, ibadah (masjid), dan pendidikan (Sekolah). Lokasi tanah strategis berada di tengah perkotaan, akses terminal Lebak Bulus, dekat dengan perumahan elit, tanah wakaf yayasan Darul Azkar cukup luas dari lahan yang telah dimanfaatkan untuk bangunan sekolah, gedung serbaguna, dan masjid. Total keseluruhan tanah wakaf yayasan darul Azkar senilai 8.000 m², sisa lahan masih kosong 4.000 m² dengan perkiraan nilai aset sebesar 92 milyar rupiah. Kesuksesan dalam pengelolaan tentunya tidak lepas dari peran nazir yang profesional, berlatar belakang pendidikan akademi perhotelan serta pengalaman berorganisasi yang tentunya cukup membuat masyarakat percaya dalam mengelola tanah wakaf hingga sukses. Yayasan ini juga berencana untuk memanfaatkan lahan yang belum digunakan untuk membuat bisnis restoran waralaba. Dengan lokasi strategis, aset besar, nazir profesional dengan wawasan agama dan bisnis yang baik serta pengelolaan berbasis organisasi modern, yayasan ini sudah menjalankan wakaf produktif dan sangat berpotensi untuk pengembangan wakaf produktif ke level selanjutnya.

Yayasan Husnayain. Yayasan ini dikenal dengan nama yayasan Masjid Abu Bakar Ash-Shidiq, berlokasi di Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Yayasan wakaf ini memiliki luas tanah wakaf sebesar 6.524 m² dan baru digunakan sebesar 5.000 m². Lahan-lahan tersebut, selain digunakan sebagai masjid dan lembaga pendidikan Islam, difungsikan juga menjadi unit-unit bisnis yang produktif. Beberapa unit bisnis seperti klinik, rumah sakit, apotik, kantin, kios, swalayan mini, hingga pusat ATM pun dapat dijumpai di yayasan wakaf ini. Sementara sisa lahan yang ada, sebesar kurang lebih 1.000 m², ketika penelitian ini wakaf produktif tidak lain berkat usaha nazir, yang juga ulama kenamaan, KH. Ahmad Cholil Ridwan. Sebagai seorang yang sangat berpengaruh, tentu saja modal sosial jaringan yang ia miliki sangat besar. Bisa dikatakan pengembangan yayasan wakaf yang progresif berawal dari kyai Cholil. Selain itu, ia pun, sebagai seorang cendekiawan Muslim, dikenal sebagai sosok yang cerdas, kreatif, dan penuh dengan ide-ide brilian dalam pengembangan masyarakat Muslim.

Dalam konteks wakaf produktif, dua yayasan di atas merupakan best practices yang dapat dicontoh oleh yayasanyayasan wakaf lain. Dengan sumber daya manusia yang handal, manajemen dan tata kelola organisasi yang apik, yayasan ini berhasil memperlihatkan bagaimana agama dan dunia yang penuh dengan hal materialistis itu bertemu dan bersinergi dengan sangat baik, sehingga fungsi wakaf bisa menjadi maksimal.

Aset Besar Potensi Nazir Cukup
Tipe kedua wakaf dengan aset besar dan nazir yang cukup baik, bisa dianggap pada tingkat kedua sebagai tipe yang berpotensi untuk berkembang menjadi wakaf produktif. Sementara dari segi aset, tanah wakaf yang berada di kelompok ini tidak jauh berbeda dengan kelompok yang pertama. Namun aset besar tidak melulu menjadi potensi besar untuk pengembangan ke wakaf produktif. Beda tipe kedua dengan yang tipe pertama adalah pada potensi nazir. Nazir di tipe kedua ini wawasannya tidak seprogresif di tipe pertama. Nazir cenderung mengelola aset wakaf apa adanya, berpegang pada konsep lama tentang wakaf, tanpa pengembangan-pengembangan taktis bagi aset wakaf yang  dikelolanya. Selain itu, di kelompok kedua ini, manajemen wakaf yang diaplikasikan belum secanggih yang pertama. Memang, kelompok ini secara umum sudah mempraktikkan wakaf produktif, tetapi masih pada tataran standar. Oleh karenanya, kelompok ini dikategorikan ke kelompok wakaf dengan potensi cukup. Adapun contoh tipe ini adalah Yayasan Kramat Payungan Hidayatullah, Yayasan Masjid AlBirru, dan Yayasan Masjid Al-Barkah.
Yayasan Kramat Payungan Hidayatullah. Nama Kramat Payungan berangkat dari sejarah tanah wakaf yang semula ditemukan benda kramat di atasnya. Proyek ini gagal untuk dituntaskan dan saat ini hanya tinggal kerangka pondasi bangunan yang sudah memburuk. Yayasan ini terbilang cukup strategis dan ramai mudah dijangkau transportasi karena berada di jalan raya Cipayung dan mudah diakses oleh tol Jagorawi. Selain itu, yayasan ini pun sudah berbadan hukum. Saat ini di atas tanah wakaf seluas 1.000 m² berdiri bangunan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang masih sangat memprihatinkan. Masih tersisa seluas 3.000 m² tanah wakaf yang masih kosong. Tanah wakaf yayasan Kramat Payungan memiliki potensi yang cukup untuk bisa dikembangkan menjadi wakaf produktif selain karena memang sisa lahan yang cukup besar, hanya saja faktor usia Nazir dan kurangnya wawasan tentang manajemen yang profesional menyebabkan nazir tidak bisa optimal dalam mengembangkan tanah wakaf yayasan Kramat Payungan. Tidak banyak inisiatif dari nazir maupun pengurus lain untuk mengembangkan yayasan ini sehingga label yayasan pada tanah wakaf baru sebatas nama. Jauh dari fungsi yayasan yang seharusnya. Masih menunggu dan berharap uluran tangan pihak investor ataupun pemerintah agar dapat memfasilitasi dan membuka pintu bagi yayasan sehingga manfaatnya lebih bisa dirasakan masyarakat sekitar.

Yayasan Wakaf Masjid Al-Barkah. Yayasan wakaf ini letaknya di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, yang notabene adalah lokasi yang strategis di ibukota Jakarta. Dengan luas tanah sebesar 5.000 m², dimanfaatkan 4.500 m², yayasan wakaf ini sangat potensial untuk dikembangkan lebih jauh lagi. Sementara sisa lahan yang ada, 500 m², dimanfaatkan jadi lahan parkir. Namun sayang, tanah dan bangunan wakaf di yayasan ini terlihat tidak terawat akibat manajemen yang masih tradisional. Nazir melakukan pengembangan dengan cara tradisional, yaitu bergantung pada sumbangan dana dari pihak luar. Dengan cara seperti ini, biaya operasional tidak bisa tertutupi. Kepemimpinan nazir perlu didorong untuk lebih kreatif dan memiliki wawasan fikih progresif sehingga potensi aset besar bisa dimanfaatkan dengan maksimal setidaknya untuk membiayai operasional masjid.

Yayasan Masjid Al-Birru. Yayasan wakaf ini awalnya merupakan tanah wakaf pemberian Kementerian Kesehatan. Luas tanah wakaf yang dimiliki sebesar 2.166 m² itu sebagian (866 m²) disewakan untuk unit-unit usaha menengah ke bawah. Beberapa jenis usaha yang dapat ditemukan misalnya, usaha pangkas rambut, usaha warung makan tegal, dan tokotoko kelontong yang menjual sembako bagi masyarakat setempat. Lembaga pendidikan untuk usia dini pun juga bisa ditemukan di dalam yayasan wakaf masjid ini. Unit-unit usaha tersebut, dapat terwujud karena modal pribadi sang nazir. Ia rela mengorbankan harta pribadinya guna mengembangkan yayasan wakaf makam tersebut. Hanya saja, karena diinisiasi
lewat dana pribadi, keberlanjutan pengelolaan yayasan wakaf kemudian lebih dibantu oleh keluarga nazir dan kurang ada regenerasi yang melibatkan masyarakat secara lebih luas.

Ketiga contoh ini menunjukkan bahwa nazir menjadi isu sentral untuk bisa mengembangkan potensi lahan yang ada. Karenanya, bisa jadi tipe ketiga di bawah, jauh bisa menjanjikan untuk pengembangan wakaf produktif.

Aset Kecil Potensi Nazir Tinggi
Ketiga adalah kelompok wakaf yang memiliki aset kecil dengan potensi nazir tinggi. Dengan kata lain, kelompok ini memiliki potensi Sumber Daya Manusia (SDM) yaitu nazir yang tinggi ketimbang Sumber Daya Alam (SDA) atau aset yang dimiliki. Dalam artian, potensi nazir di kelompok ini yang justru menjadi aset besar. Selain itu, jika diamati dari sisi lokasi aset wakaf, kelompok ini sebenarnya terbilang strategis. Hanya saja sisa lahan yang dimiliki sangat terbatas, rata-rata paling besar 1.000 m², bahkan ada juga 840 m², berbeda dengan kelompok satu dan dua yang memiliki aset lebih dari 1.000 m². Oleh karenanya kelompok ini dikatakan memiliki aset kecil. Uniknya, meskipun terjadi ketimpangan dengan minimnya jumlah aset dan tingginya potensi nazir, nyatanya kelompok ini mampu mengembangkan wakaf produktif dengan baik hingga memiliki unit bisnis sendiri. Yayasan Wakaf Masjid Baiturrahman. Yayasan wakaf masjid ini berlokasi di Pelumpang Semper, Rawa Badak Selatan Jakarta Utara, awalnya merupakan empang yang ditimbun oleh pemerintah menjadi lahan pemukiman. Total luas tanah wakaf ini 1.600 m², dan awalnya adalah hak guna pakai yang kemudian oleh pemerintah DKI dihibahkan kepada masyarakat (kemudian dijadikan wakaf) untuk  dibangun masjid. Dan dibangunlah masjid Baiturrahman pada tahun 2012. Masjid ini dikelola dengan baik dengan organisasi yang berjalan baik. Perawatan aset wakaf ini diambil dari donatur tetap, donatur masyakat, serta sewa rumah kontrakan. Setengah dari tanah wakaf bangunan masjid berlantai dua nan megah. Konsep masjid lantai pertama untuk gedung serbaguna yang disewakan untuk pernikahan, pertemuan dan lain sebagainya sementara lantai dua khusus dijadikan tempat ibadah sholat. Masih area sekitar lokasi masjid tepatnya posisi belakang sudah banyak bangunan berupa rumah kontrakan dan unit bisnis lainnya. Nazir di Masjid Baiturrahman mengelola secara profesional dan modern. Sehingga, pemahaman yang memadai terkait wakaf produktif sudah tidak diragukan.

Yayasan Nur Assailina. Pada tahun 1973 berdiri Yayasan Nur Assailina di atas tanah wakaf seluas 2.500 m². Posisi tanah wakaf berada di pinggir jalan yang dikelilingi rumah-rumah warga, terdapat juga pertokoan, dan pusatpusat bisnis. Lokasi tanah wakaf berada kisaran 2-3 km dari Lenteng Agung. Yayasan Assailina dikelola oleh seorang nazir profesional, konsep wakaf produktif yang matang sehingga menjadikan Yayasan Assailina berkembang baik. Lahan tanah wakaf yang tersisa saat ini hanya 1000 m², meskipun sedikit tanah sisa yang ada, tidak merubah pola pikir pihak nazir untuk gigih mencari donatur yang bisa membantu membiayai mengembangkan lahan kosong untuk bangunan unit-unit bisnis. Lokasinya yang strategis di pinggir jalan dan berada di tengah pemukiman warga menjadi motivasi bagi pihak yayasan untuk terus optimal dalam mengembangkan yayasan Nur Assailina.
Yayasan Wakaf Masjid Al-Abrar. Yayasan wakaf masjid ini berdiri di atas tanah seluas 2.100 m² yang berlokasi di Jl. Danau Tondano, Bendungan Hilir Jakarta Pusat. Masjid ini awalnya merupakan tanah/aset milik pemerintah DKI Jakarta. Bekat kemampuan nazir didukung oleh masyarakat sekitar akhirnya status masjid ini menjadi kepemilikan masyarakat (wakaf). Kini, masjid ini sudah mengalami dua kali renovasi, nilai asetnya pun semakin bertambah. Lokasinya yang strategis, yaitu terletak di pinggir jalan menjadikan masjid ini ramai pengunjung. Pendapatan terbesar masjid ini berasal dari sumbangan infak warga dan jamaah masjid. Pendapatan tersebut digunakan untuk menggaji marbot (pengurus masjid) dan kegiatan operasional lainnya, seperti perawatan bangunan. Dari sisi nazir, wakaf ini dikelola oleh Sanusi, pensiunan guru SD yang mendedikasikan hidupnya sebagai pengurus masjid. Pengetahuan Sanusi tentang wakaf terbilang sangat baik, tidak jarang ide pengembangan wakaf produktif selalu ia gagas. Kini, meskipun aset tanah wakaf terbilang kecil, Sanusi memanfaatkan sisa tanah wakaf untuk mendirikan koperasi, dan klinik kesehatan dengan memberikan fasilitas ambulan gratis untuk warga.

Ketiga yayasan wakaf ini merupakan contoh wakaf produktif yang telah dikelola dengan baik, meskipun luas aset tanah yang minim, ternyata bisa menghasilkan (produktif) dan menjadi pusat keagamaan yang bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Lagi-lagi keberhasilan wakaf ini berkat nazir yang mampu mengelola aset wakaf dengan baik.

Aset Kecil dan Potensi Nazir Rendah
Dengan aset kecil dan potensi nazir rendah, lembaga wakaf yang masuk tipe ini adalah lembaga yang sulit untuk bisa dikembangkan sebagai wakaf produktif. Di antara alasannya adalah tidak adanya motivasi para nazir untuk mengembangkan aset wakaf karena pemahaman konvensional yang tidak membolehkan perubahan/inovasi peruntukan lahan. Alasan kedua masih pada kapasitas nazir serta masyarakat sekitarnya yang rendah, minim krativitas serta wawasan. Selain itu memang minimnya aset wakaf yang ada. Yayasan Wakaf Masjid Darussalam Al-Amin. Yayasan masjid ini memiliki luas tanah wakaf sebesar 1.000 m², berlokasi di jalan Raya Kali Baru Timur Kosambi Raya, Jakarta Utara. Dari luas tanah wakaf tersebut, 400 m² digunakan untuk pembangunan masjid dan lembaga pendidikan, sisanya 600 m² digunakan sebagai tempat parkir. Yayasan masjid ini juga tidak memiliki unit bisnis mengingat sisa lahan wakaf tidak begitu luas. Masyarakat belum bisa menerima konsep wakaf produktif dengan alasan adanya kekhawatiran pemanfaatan oleh pengurus, dan keterbatasan sumber daya pengelola. Meskipun begitu, wakaf masjid ini berusaha dikelola dengan baik oleh seorang karyawan BUMN yang pernah mengenyam pendidikan di STM Perkapalan. Walau nazir cukup baik, tapi kapasitas rendah, SDM kurang, dan nazir tidak mendapat dukungan masyarakat untuk memproduktifkan wakaf. Yayasan Masjid Al-Muflihun. Masjid Al-Muflihun ini konon merupakan salah satu masjid tertua di Jakarta yang didirikan pada masa Belanda. Total luas wakaf masjid ini 4.000 m² yang dimanfaatkan sebagian tanahnya untuk masjid dan pemakaman. Tanah wakaf ini dikelola dengan baik oleh seorang nazir lulusan sarjana teknik. Namun latar belakang pendidikan nazir yang bukan dari bidang agama, menjadi kendala, dan nazir tidak menguasai konsep wakaf, apalagi wakaf produktif. Masjid digunakan sebagai tempat majlis taklim dan TPA. Dan unsur kegiatan sosialnya cukup tinggi. Misalnya kepedulian untuk memberikan area pemakaman yang harganya terjangkau oleh masyarakat. Namun kepedulian ini dilakukan dengan cara konvensional, dengan membongkar bangunan yang ada untuk penggunaan makam warga. Pembangunan makam tanpa perencanaan pun hanya akan bisa membantu secara terbatas saja.

Tipologi Yayasan wakaf seperti dua contoh terakhir ini sangat umum ditemukan di masyarakat. Apakah memang asetnya terbatas, sumber daya nazir yang terbatas, atau bahkan kondisi lingkungan masyarakatnya yang tidak mendukung. Kombinasi berbagai faktor ini yang menjadikan tantangan bagi pengembangan wakaf produktif.

Penutup
Gambaran empat tipologi wakaf di atas menjadi masukan bagi lembaga-lembaga wakaf di luar Jakarta, lebih luas di Indonesia, untuk berintrospeksi diri, melihat kondisi lembaga wakaf seperti apa yang ada di sekitar kita, dan kemudian mencari solusi atas tantangan tersebut. Aset wakaf dan potensi seorang nazir dalam hal ini sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan dan keberlangsungan sebuah lembaga wakaf. Meskipun lembaga wakaf di Jakarta tidak semua dikatakan baik, namun ada beberapa lembaga wakaf yang bisa menjadi contoh bagi lembaga wakaf di Indonesia, seperti tergambar pada tipologi wakaf pertama, kedua dan ketiga.

Selain itu, nyatanya bukan menjadi alasan jika aset sebuah lembaga wakaf berjumlah kecil, manakala potensi seorang nazir sangat baik, lembaga wakaf akan berkembang dengan baik karena nazir selalu tergerak untuk mengembangkan lembaga wakafnya. Lain halnya, jika aset dan potensi seorang nazir tidak memadai untuk mengembangkan wakaf.

Temuan empat tipologi di atas, besar kemungkinan bisa juga ditemukan di wilayah-wilayah di Indonesia. Oleh karenanya, ke depan, temuan empat tipologi di atas bisa menjadi masukan kepada pemerintah akan perkembangan wakaf di Indonesia, terutama di Jakarta. Setidaknya, pemerintah turut andil pada beberapa hal. Pertama, pemerintah perlu melakukan pendataan ulang lembaga wakaf beserta aset wakafnya, ini dilakukan untuk memetakan kondisi setiap aset wakaf di Indonesia termasuk kondisi potensi nazir dan lingkungan masyarakatnya. Kedua, pemerintah perlu membantu memproduktifkan 10 aset wakaf paling strategis di tiap kota besar di Indonesia. Hal ini menjadi langkah awal dan menjadi percontohan, karena aset wakaf di kota-kota besar bernilai jual tinggi. Ketiga, pemerintah perlu memberikan pelatihan yang memadai bagi nazir untuk mengembangan wakaf.

*********************************
  
Kontributor: Dr. Amelia Fauzia; Nani Almuin, M.A Tati Rohayati Endi Aulia Garadian. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF.
Email: ustazsofyan@gmail.com

Popular posts from this blog

Zakat di Masa Rasulullah, Sahabat dan Tabi'in

ZAKAT DI MASA RASULULLAH, SAHABAT DAN TABI’IN Oleh: Saprida, MHI;  Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Islam merupakan agama yang diturunkan kepada umat manusia untuk mengatur berbagai persoalan dan urusan kehidupan dunia dan untuk mempersiapkan kehidupan akhirat. Agama Islam dikenal sebagai agama yang kaffah (menyeluruh) karena setiap detail urusan manusia itu telah dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ketika seseorang sudah beragama Islam (Muslim), maka kewajiban baginya adalah melengkapi syarat menjadi muslim atau yang dikenal dengan Rukun Islam. Rukun Islam terbagi menjadi lima bagian yaitu membaca syahadat, melaksanakan sholat, menunaikan zakat, menjalankan puasa dan menunaikan haji bagi orang yang mampu. Zakat adalah salah satu ibadah pokok yang menjadi kewajiban bagi setiap individu (Mukallaf) yang memiliki harta untuk mengeluarkan harta tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam zakat itu sendiri. Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah s

Akibat Menunda Membayar Zakat

Akibat Menunda Membayar Zakat Mal  Pertanyaan: - Jika ada orang yang tidak membayar zakat selama beberapa tahun, apa yang harus dilakukan? Jika sekarang dia ingin bertaubat, apakah zakatnya menjadi gugur? - Jika saya memiliki piutang di tempat orang lain, sudah ditagih beberapa kali tapi tidak bisa bayar, dan bulan ini saya ingin membayar zakat senilai 2jt. Bolehkah saya sampaikan ke orang yang utang itu bahwa utangmu sudah lunas, krn ditutupi dg zakat saya.. shg sy tdk perlu mengeluarkan uang 2 jt. Mohon pencerahannya Jawab: Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Orang yang menunda pembayaran zakat, dia BERDOSA. Sehingga wajib bertaubat. Imam Ibnu Utsaimin ditanya tentang orang yang tidak bayar zakat selama 4 tahun. Jawaban Beliau, هذا الشخص آثم في تأخير الزكاة ؛ لأن الواجب على المرء أن يؤدي  الزكاة فور وجوبها ولا يؤخرها ؛ لأن الواجبات الأصل وجوب القيام بها فوراً ، وعلى هذا الشخص أن يتوب إلى الله عز وجل من هذه المعصية “Orang ini berdos

Importance of Sadaqa (Voluntary Charity) #1

Importance of Sadaqa (Voluntary Charity) #1 1.   The Parable of Spending in Allah’s Cause: Tafseer Ibn Kathir Sadaqa (Voluntary Charity in the Way of Allah) Tafseer Ibn Kathir – QS Al-Baqarah: 261 “The parable of those who spend their wealth in the way of Allah is that of a grain (of corn); it grows seven ears, and each ear has a hundred grains. Allah gives manifold increase to whom He wills. And Allah is All-Sufficient for His creatures’ needs, All-Knower .” This is a parable that Allah made of the multiplication of rewards for those who spend in His cause, seeking His pleasure. Allah multiplies the good deed ten to seven hundred times . Allah said,  The parable of those who spend their wealth in the way of Allah. Sa`id bin Jubayr commented, “Meaning spending in Allah’s obedience” . Makhul said that the Ayah means, “Spending on Jihad, on horse stalls, weapons and so forth” . The parable in the Ayah is more impressive on the heart than merely mentioning th