CARA
MENGHITUNG ZAKAT MAL
Oleh :Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri MA; Ust. Sofyan Kaoy Umar (Editor)
Segala puji hanya milik
Allâh Ta’ala, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi
Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.
Harta benda beserta
seluruh kenikmatan dunia diciptakan untuk kepentingan manusia, agar mereka
bersyukur kepada Allâh Ta’ala dan rajin beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu
tatkala Nabi Ibrahim ‘Alaihissallam, meninggalkan putranya, Nabi Ismail
‘Alaihissallam di sekitar bangunan Ka’bah, beliau berdoa:
رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي
زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ
أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ
لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
Ya
Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah
yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati. Ya Rabb kami,
(yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati
sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rizki dari
buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. [Ibrâhîm/14:37]
Inilah hikmah
diturunkannya rizki kepada umat manusia, sehingga bila mereka tidak bersyukur,
maka seluruh harta tersebut akan berubah menjadi petaka dan siksa baginya.
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا
فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا
فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ
هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ
…Dan orang-orang
yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allâh, maka
beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dahi,
lambung dan punggung mereka dibakar dengannya, (lalu dikatakan) kepada mereka:
“Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah
sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. [at-Taubah/9:34-35]
Ibnu Katsir
rahimahullâh berkata: “Dinyatakan bahwa setiap orang yang mencintai sesuatu dan
lebih mendahulukannya dibanding ketaatan kepada Allâh, niscaya ia akan disiksa
dengannya. Dan dikarenakan orang-orang yang disebut pada ayat ini lebih suka
untuk menimbun harta kekayaannya daripada mentaati keridhaan Allâh, maka mereka
akan disiksa dengan harta kekayaannya. Sebagaimana halnya Abu Lahab, dengan
dibantu oleh istrinya, ia tak henti-hentinya memusuhi Rasûlullâh Shallallâhu
‘alaihi wa sallam, maka kelak pada hari kiamat, istrinya akan berbalik ikut
serta menyiksa dirinya. Di leher istri Abu Lahab akan terikatkan tali dari
sabut, dengannya ia mengumpulkan kayu-kayu bakar di neraka, lalu ia
menimpakannya kepada Abu Lahab. Dengan cara ini, siksa Abu Lahab semakin terasa
pedih, karena dilakukan oleh orang yang semasa hidupnya di dunia paling ia cintai.
Demikianlah halnya para penimbun harta kekayaan. Harta kekayaan yang sangat ia
cintai, kelak pada hari kiamat menjadi hal yang paling menyedihkannya. Di
neraka Jahannam, harta kekayaannya itu akan dipanaskan, lalu digunakan untuk
membakar dahi, perut, dan punggung mereka”.[1]
Ibnu Hajar al-Asqalâni
berkata: “Dan hikmah dikembalikannya seluruh harta yang pernah ia miliki,
padahal hak Allâh (zakat) yang wajib dikeluarkan hanyalah sebagiannya saja,
ialah karena zakat yang harus dikeluarkan menyatu dengan seluruh harta dan
tidak dapat dibedakan. Dan karena harta yang tidak dikeluarkan zakatnya adalah
harta yang tidak suci”[2]
Singkat kata, zakat
adalah persyaratan dari Allâh Ta’ala kepada orang-orang yang menerima karunia
berupa harta kekayaan agar harta kekayaan tersebut menjadi halal baginya.
NISHAB
ZAKAT EMAS DAN PERAK
Emas dan perak adalah harta kekayaan utama umat manusia. Dengannya, harta benda
lainnya dinilai. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya akan membahas nishab
keduanya dan harta yang semakna dengannya, yaitu uang kertas.
عَنْ عَلِي رضياللّه عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى اللّه عليه وسلم قَالَ:
إذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَادِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَاالْحَوْلُ
فَفِيْهَاخَمْسَةُدَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌيَعْنِي فِي الذَّهَبِ حَتَّى
يَكُوْنَ لَكَ عِشْرُونَ دِيْنَارًافَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًاوَحَالَ
عَلَيْهَا الْحَؤْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ
(رواه أبو داود و صححه ا لألبانيْ
“Dari
Sahabat ‘Ali Radhiyallâhu ‘anhu, ia meriwayatkan dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda: “Bila engkau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu
satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima
dirham. Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikitpun – maksudnya
zakat emas- hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah memiliki
dua puluh dinar dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya
engkau dikenai zakat setengah dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu,
maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”. [Riwayat Abu Dawud, al-Baihaqi,
dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni]
عَنْ أَبِيْ سَعِيد يَقُوْلُ : قَالَ النَّبِيُِّ صلى اللّه عليه
وسلم : لَيْسَ فِيْمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ (متفق عليه
Dari Sahabat Abu Sa’id
al-Khudri Radhiyallâhu ‘anhu, ia menuturkan: Rasûlullâh Shallallâhu alaihi wa
sallam bersabda: “Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang
dari lima Uqiyah “.[Muttafaqun ‘alaih]
Dalam hadits riwayat
Abu Bakar Radhiyallâhu ‘anhu dinyatakan:
وَفِيْ الرِّقَّةِ رُبْعُ الْعُشْر ..رواه البخاري
Dan pada perak,
diwajibkan zakat sebesar seperdua puluh (2,5 %). [Riwayat al-Bukhâri]
Hadits-hadits di atas
adalah sebagian dalil tentang penentuan nishab zakat emas dan perak, dan
darinya, kita dapat menyimpulkan beberapa hal:
1. Nishab
adalah batas minimal dari harta zakat. Bila seseorang telah memiliki harta
sebesar itu, maka ia wajib untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, batasan
nishab hanya diperlukan oleh orang yang hartanya sedikit, untuk mengetahui
apakah dirinya telah berkewajiban membayar zakat atau belum. Adapun orang yang
memiliki emas dan perak dalam jumlah besar, maka ia tidak lagi perlu untuk
mengetahui batasan nishab, karena sudah dapat dipastikan bahwa ia telah
berkewajiban membayar zakat. Oleh karena itu, pada hadits riwayat Ali
Radhiyallâhu ‘anhu di atas, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menyatakan: “Dan
setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan
itu”.
2. Nishab emas,
adalah 20 (dua puluh) dinar, atau seberat 91 3/7 gram emas[3]
3. Nishab
perak, yaitu sebanyak 5 (lima) ‘uqiyah, atau seberat 595 gram[4]
4. Kadar zakat
yang harus dikeluarkan dari emas dan perak bila telah mencapai nishab adalah
atau 2,5%.
5. Perlu
diingat, bahwa yang dijadikan batasan nishab emas dan perak tersebut, ialah
emas dan perak murni (24 karat) [5] Dengan demikian, bila seseorang
memiliki emas yang tidak murni, misalnya emas 18 karat, maka nishabnya harus
disesuaikan dengan nishab emas yang murni (24 karat), yaitu dengan cara
membandingkan harga jualnya, atau dengan bertanya kepada toko emas, atau ahli
emas, tentang kadar emas yang ia miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah
mencapai nishab, maka ia wajib membayar zakatnya, dan bila belum, maka ia belum
berkewajiban untuk membayar zakat.
Orang yang hendak
membayar zakat emas atau perak yang ia miliki, dibolehkan untuk memilih satu
dari dua cara berikut.
Cara
Pertama :
Membeli emas atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu
memberikannya langsung kepada yang berhak menerimanya.
Cara
Kedua :
Ia membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negerinya sejumlah harga
zakat (emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu.
Sebagai contoh, bila
seseorang memiliki emas seberat 100 gram dan telah berlalu satu haul, maka ia
boleh mengeluarkan zakatnya dalam bentuk perhiasan emas seberat 2,5 gram.
Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk mengeluarkan uang seharga emas 2,5 gram
tersebut. Bila harga emas di pasaran Rp. 200.000, maka, ia berkewajiban untuk
membayarkan uang sejumlah Rp. 500.000,- kepada yang berhak menerima zakat.
Syaikh Muhammad bin
Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh berkata: “Aku berpendapat, bahwa tidak mengapa
bagi seseorang membayarkan zakat emas dan perak dalam bentuk uang seharga
zakatnya. Ia tidak harus mengeluarkannya dalam bentuk emas. Yang demikian itu,
lebih bermanfaat bagi para penerima zakat. Biasanya, orang fakir, bila engkau
beri pilihan antara menerima dalam bentuk kalung emas atau menerimanya dalam
bentuk uang, mereka lebih memilih uang, karena itu lebih berguna baginya.[6]
Catatan
Penting Pertama.
Perlu diingat, bahwa harga emas dan perak di pasaran setiap saat mengalami
perubahan, sehingga bisa saja ketika membeli, tiap 1 gram seharga Rp 100.000,-
dan ketika berlalu satu tahun, harga emas telah berubah menjadi Rp. 200.000,-
Atau sebaliknya, pada saat beli, 1 gram emas harganya sebesar Rp. 200.000,-
sedangkan ketika jatuh tempo bayar zakat, harganya turun menjadi Rp. 100.000,-
Pada kejadian semacam
ini, yang menjadi pedoman dalam pembayaran zakat adalah harga pada saat
membayar zakat, bukan harga pada saat membeli.[7]
NISHAB
ZAKAT UANG KERTAS
Pada zaman dahulu, umat manusia menggunakan berbagai cara untuk bertransaksi
dan bertukar barang, agar dapat memenuhi kebutuhannya. Pada awalnya, kebanyakan
menggunakan cara barter, yaitu tukar-menukar barang. Akan tetapi, tatkala
manusia menyadari bahwa cara ini kurang praktis – terlebih bila membutuhkan
dalam jumlah besar maka manusia berupaya mencari alternatif lain. Hingga
akhirnya, manusia mendapatkan bahwa emas dan perak sebagai barang berharga yang
dapat dijadikan sebagai alat transaksi antar manusia, dan sebagai alat untuk
mengukur nilai suatu barang.
Dalam perjalanannya,
manusia kembali merasakan adanya berbagai kendala dengan uang emas dan perak,
sehingga kembali berpikir untuk mencari barang lain yang dapat menggantikan
peranan uang emas dan perak itu. Hingga pada akhirnya ditemukanlah uang kertas.
Dari sini, mulailah uang kertas tersebut digunakan sebagai alat transaksi dan
pengukur nilai barang, menggantikan uang dinar dan dirham.
Berdasarkan hal ini,
maka para ulama menyatakan bahwa uang kertas yang diberlakukan oleh suatu
negara memiliki peranan dan hukum, seperti halnya yang dimiliki uang dinar dan
dirham. Dengan demikian, berlakulah padanya hukum-hukum riba dan zakat[8]
Bila demikian halnya,
maka bila seseorang memiliki uang kertas yang mencapai harga nishab emas atau
perak, ia wajib mengeluarkan zakatnya, yaitu 2,5% dari total uang yang ia
miliki. Dan untuk lebih jelasnya, maka saya akan mencoba mejelaskan hal ini
dengan contoh berikut.
Misalnya satu gram emas
24 karat di pasaran dijual seharga Rp.200.000,- sedangkan 1 gram perak murni
dijual seharga Rp. 25.000,- Dengan demikian, nishab zakat emas adalah 91 3/7 x
Rp. 200.000 = Rp. 18.285.715,- sedangkan nishab perak adalah 595 x Rp 25.000 =
Rp. 14.875.000,-.
Apabila pak Ahmad
(misalnya), pada tanggal 1 Jumadits-Tsani 1428 H memiliki uang sebesar Rp.
50.000.000,- lalu uang tersebut ia tabung dan selama satu tahun (sekarang tahun
1429H) uang tersebut tidak pernah berkurang dari batas minimal nishab di atas,
maka pada saat ini pak Ahmad telah berkewajiban membayar zakat malnya. Total
zakat mal yang harus ia bayarkan ialah:
Rp. 50.000.000 x 2,5 %
(atau Rp. 50.000.000/40) = = Rp 1.250.000,-
Pada kasus pak Ahmad di
atas, batasan nishab emas ataupun perak, sama sekali tidak diperhatikan, karena
uang beliau jelas-jelas melebihi nishab keduanya.
Akan tetapi, bila uang
pak Ahmad berjumlah Rp. 16.000.000,- maka pada saat inilah kita
mempertimbangkan batas nishab emas dan perak. Pada kasus kedua ini, uang pak
Ahmad telah mencapai nishab perak, yaitu Rp. 14.875.000,- akan tetapi belum
mancapai nishab emas yaitu Rp 18.285.715.
Pada kasus semacam ini,
para ulama menyatakan bahwa pak Ahmad wajib menggunakan nishab perak, dan tidak
boleh menggunakan nishab emas. Dengan demikian, pak Ahmad berkewajiban membayar
zakat mal sebesar :
Rp. 16.000.000 x 2,5 %
(16.000.000/40)= Rp. 400.000,-
Komisi Tetap Untuk
Fatwa Kerajaan Saudi Arabia dibawah kepemimpinan Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz rahimahullâh
pada keputusannya no. 1881 menyatakan: “Bila uang kertas yang dimiliki
seseorang telah mencapai batas nishab salah satu dari keduanya (emas atau
perak), dan belum mencapai batas nishab yang lainnya, maka penghitungan
zakatnya wajib didasarkan kepada nishab yang telah dicapai tersebut”.[9]
Catatan
Penting Kedua.
Dari pemaparan singkat tentang nishab zakat uang di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa nishab dan berbagai ketentuan tentang zakat uang adalah
mengikuti nishab dan ketentuan salah satu dari emas atau perak. Oleh karena
itu, para ulama menyatakan bahwa nishab emas atau nishab perak dapat
disempurnakan dengan uang atau sebaliknya[10]
Berdasarkan pemaparan
di atas, bila seseorang memiliki emas seberat 50 gram seharga Rp. 10.000.000,
dan ia juga memiliki uang tunai sebesar Rp. 13.000.000, sedangkan harga 1 gram
emas adalah Rp. 200.000,- maka ia berkewajiban membayar zakat 2,5 %. Walaupun
masing-masing dari emas dan uang tunai yang ia miliki belum mencapai nishab,
akan tetapi ketika keduanya digabungkan, jumlahnya mencapai nishab. Dengan
demikian orang tersebut berkewajiban membayar zakat sebesar Rp. 575.000,-
dengan perhitungan sebagai berikut:
Rp 10.000.000,- + Rp.
13.000.000, x 2,5 % (23.000.000/40)= Rp. 575.000,-
Semoga pemaparan
singkat di atas dapat membantu pembaca memahami metode penghitungan zakat maal
yang benar menurut syari’at Islam. Wallahu Ta’ala A’lam bish-Shawâb.
[Disalin dari majalah
As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647,
081575792961, Redaksi 08122589079]Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1] Tafsir Ibnu Katsir (2/351-352). Hal
semakna juga diungkapkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalâni dalam kitabnya,
Fathul-Bâri (3/305).
[2] Lihat Fathul-Bâri, 3/305
[3] Penentuan nishab emas dengan 91 3/7
gram, berdasarkan keputusan Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no. 5522.
Adapun Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin menyatakan, bahwa nishab zakat
emas adalah 85 gram, sebagaimana beliau tegaskan dalam bukunya, Majmu’ Fatâwâ
wa Rasâ‘il, 18/130 dan 133).
[4] Penentuan nishab perak dengan 595 gram,
berdasarkan penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin pada berbagai
kitab beliau, di antaranya Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/141
[5] Lihat Subulus-Salâm, ash-Shan’ani,
2/129
[6] Lihat Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il 18/155.
Demikian juga difatwakan oleh Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia pada
fatwanya no. 9564
[7] Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/96
[8] Sebagaimana ditegaskan pada keputusan
konferensi Komisi Fiqih Islam di bawah Rabithah ‘Alam al-Islami, no. 6, pada
rapatnya ke 5, tanggal 8 s/d 16 Rabiul-Akhir, Tahun 1402 H. Dan juga pada
keputusan Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no. 1881, 1728, dan
difatwakan oleh Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatâwâ wa
Rasâ`il, 18/173
[9] Lihat Majmu’ Fatâwâ, Komisi Tetap Fatwa
Kerajaan Saudi Arabia (9/254 fatwa no. 1881) dan Majmu’ Fatâwâ wa Maqalât
al-Mutanawwi‘ah oleh Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz (14/125).
[10] Lihat Maqalaat a- Mutanawwi’ah, Syaikh
‘Abdul-’Aziz bin Bâz, 14/125
(Sumber: https://almanhaj.or.id/9280-cara-menghitung-zakat-mal-2.html)
================