Syarat-Syarat Wajib Zakat Mal
Masa melaksanakan zakat fithri sudah lewat seiring dengan
berlalunya bulan Ramadhan. Semoga Allâh Azza wa Jalla menerima amal ibadah yang
kita lakukan pada bulan tersebut. Namun selain zakat Fithri, masih ada zakat
lain yang harus dikerjakan oleh kaum Muslimin yang sudah memenuhi syarat yaitu
zakat mal (zakat harta). Zakat ini berbeda dengan zakat fithri dari sisi waktu
pelaksanaannya, karena zakat ini tidak terikat dengan waktu tertentu, artinya
bisa dikerjakan di semua bulan asalkan syaratnya sudah terpenuhi. Lalu, apakah
syarat-syarat yang harus terpenuhi itu? Para Ulama menetapkan lima syarat,
yaitu :
1. Islam.
Zakat mal ini hanya diambil dari kaum Muslimin dan tidak diambil dan tidak diterima dari kaum kafir[1] , baik kafir harbi maupun kafir dzimmi; karena firman Allâh Azza wa Jalla :
Zakat mal ini hanya diambil dari kaum Muslimin dan tidak diambil dan tidak diterima dari kaum kafir[1] , baik kafir harbi maupun kafir dzimmi; karena firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ
تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ
وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَىٰ وَلَا
يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ
Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka
nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allâh dan Rasul-Nya dan
mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula)
menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.
[at-Taubah/9:54].
Ini juga didukung oleh pesan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika mengutus Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu ke Yaman untuk
mendakwahi mereka agar memeluk Islam terlebih dahulu. Jika sudah memeluk Islam,
baru setelah itu, mereka diperintahkan untuk menunaikan zakat. Dengan demikian
jelas bahwa Islam merupakan syarat wajib zakat. [lihat Hâsyiah Ibnu Qâsim atas
Raudh al-Murbi’, 3/166].
2. Merdeka.
Zakat mal ini tidak dibebankan kepada hamba sahaya ; karena ia tidak memiliki
harta. Semua hartanya adalah harta majikan atau tuannya. Berdasarkan hadits
Abdullah bin Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhuma, beliau berkata :
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَنِ ابْتَاعَ نَخْلاً بَعْدَ أَنْ
تُؤَبَّرَ فَثَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ, وَمَنِ
ابْتَاعَ عَبْداً وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلَّذِيْ بَاعَهُ إِلاَّ أَنْ
يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ
Aku telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Barangsiapa yang membeli pohon kurma setelah dikawinkan maka buahnya
milik penjual kecuali bila pembeli mensyaratkannya. Barangsiapa yang membeli
budak yang memiliki harta maka hartanya milik penjual kecuali pembeli
mensyaratkannya. [Muttafaqun ‘Alaihi].
Ini juga dikuatkan dengan pernyataan sahabat Ibnu Umar
Radhiyallahu anhuma :
لَيْسَ فِيْ مَالِ
العَبْدِ زَكَاةٌ حَتَّى يُعْتَقَ
Tidak ada kewajiban zakat pada harta seorang budak sampai dia
dimerdekakan.[2]
3. Memiliki Nishâb
Seorang Muslim yang merdeka wajib menunaikan zakat mal, apabila memiliki harta
yang mencapai nishâb. Nishâb adalah ukuran standar (minimal) yang ditetapkan
syariat untuk dikenai kewajiban zakat. Nishâb ini berbeda-beda sesuai dengan
jenis harta.
Syarat ini disimpulkan dari hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam , diantaranya adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
لَيْسَ فِيمَا دُونَ
خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ وَلاَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ ، وَلاَ
فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقِيَّ صَدَقَةٌ
Tidak ada zakat (pada harta) yang tidak mencapai lima wasaq; Juga
pada harta yang tidak mencapai lima ekor onta; Serta yang tidak mencapai lima
auqiyah [Muttafaqun ‘alaihi]
Apabila seorang Muslim tidak memiliki harta yang mencapai nishâb
maka tidak diwajibkan berzakat.
4. Harta Itu Menjadi Miliknya Secara Penuh
Maksudnya, harta itu dimiliki secara penuh oleh seseorang[3] sehingga ia bebas mengelolanya dan
tidak ada hubungan dengan hak orang lain[4]
Dengan demikian, tidak ada kewajiban zakat pada harta seorang tuan
yang masih dihutang atau belum diserahkan budaknya untuk membebaskan diri,
karena harta ini masih belum menjadi milik tuan sepenuhnya.
Demikian juga tidak diwajibkan zakat pada harta wakaf yang tidak
diberikan untuk individu tertentu, seperti wakaf harta untuk fakir miskin atau
untuk masjid atau sekolahan. Sedangkan wakaf yang diserahkan untuk individu
tertentu seperti wakaf untuk keluarga Fulan maka ia tetap kena kewajiban zakat
selama memenuhi kreteria yang lainnya[5]
5. Berlalu Setahun Lamanya
Syarat ini ditetapkan berdasarkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, diantaranya hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi :
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لاَ زَكَاةَ فِيْ مَالٍ حَتَّى
يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
Aku telah mendengar Rasûlullâh bersabda, “Tidak ada zakat pada
harta sampai harta itu berlalu setahun lamanya [HR. Ibnu
Mâjah, no. 1792 dan dishahihkan al-Albâni rahimahullah dalam shahih sunan Ibnu
Mâjah 2/98].
Juga hadits Ali Radhiyallahu anhu yang berbunyi :
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ
عَلَيْهِ الْحَوْلُ
Diriwayatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda,
“Tidak ada zakat pada harta hingga harta itu berlalu setahun lamanya [HR Abu
daud no. 1571 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Daud 1/346].
Demikian juga dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau
Radhiyallahu anhuma berkata :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اسْتَفَادَ مَالًا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ
حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
Rasûlullâh bersabda, “Barangsiapa memanfaatkan harta maka tidak
ada zakat atasnya sampai harta itu berlalu setahun” [HR
at-Tirmidzi dalam Sunannya no. 631 dan dishahihkan al-Albâni rahimahullah dalam
Shahîh Sunan at-Tirmidzi 1/348].
Maksudnya adalah tidak ada zakat pada harta sampai kepemilikannya
terhadap harta itu berlalu selama dua belas bulan. Jika sudah berlalu setahun
sejak awal masa kepemilikannya, maka dia wajib mengeluarkan dari zakat yang
dimiliki tersebut.
Syarat ini hanya berlaku pada tiga jenis harta; yaitu hewan ternak
yang digembalakan, emas dan perak (atsmân) dan zakat barang perdagangan.[6]
YANG TIDAK DISYARATKAN HAUL.
Dengan demikian ada beberapa harta zakat yang tidak disyaratkan
sempurna setahun, yaitu:
1. Al-Mu’asyar yaitu harta yang diwajibkan
padanya 10 % atau 5 %. Ini zakat pada hasil pertanian dan perkebunan; karena
zakat ini diwajibkan ketika panen walaupun belum sampai setahun. Ini
berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ
إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah,
dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada
fakir miskin) [al-‘An’âm/6:141].
2. Anak hewan ternak[7] karena haul (ukuran setahun) bagi
anak-anak hewan ternak itu mengikuti hitungan haul induknya. Anak hewan ternak
ini dihitung dalam zakat walaupun belum mencapai usia setahun apabila induknya
telah mencapai nishab.
Contohnya seorang memiliki empat puluh ekor kambing. Lalu dalam
setahun, masing-masing kambing tersebut melahirkan dua ekor kecuali seekor saja
yang melahirkan tiga ekor. Dengan demikian, jumlah keseluruhannya adalah 121
ekor yang terdiri dari 40 ekor induk ditambah 81 ekor anak kambing. Berarti zakat
yang harus dikeluarkan adalah dua ekor kambing, walaupun 81 kambing tersebut
belum genap satu tahun.
Contoh lain : Seorang memiliki 120 ekor kambing, seharusnya zakat
yang wajib dikeluarkan adalah 2 ekor kambing, namun sebulan sebelum sempurna
haulnya, lahir 100 ekor kambing sehingga di akhir tahun (waktu sempurnanya
haul) berjumlah 220 ekor. Dalam hal ini ia wajib mengeluarkan 3 ekor kambing
walaupun yang 100 ekor belum mencapai usia setahun.
Apabila induk-induknya belum mencapai nishab, lalu induk-induk itu
melahirkan anak-anaknya sehingga mencapai nishab. Saat mencapai nishâb itulah
permulaan haulnya. Contohnya, seorang memiliki tiga puluh ekor kambing lalu
kambing-kambing itu melahirkan sepuluh ekor, maka haul kambing-kambing tersebut
dihitung sejak genap empat puluh ekor kambing.
3. Keuntungan perniagaan dari modal yang telah
mencapai nishâb dan berlalu satu tahun.[8] Seandainya, seorang memiliki uang
mencapai nishâb dan digunakan untuk berdagang lalu mendapatkan keuntungan. Maka
seluruh harta itu, modal dan keuntungannya terkena wajib zakat, meskipun
keuntungannya belum mencapai setahun.
Contohnya, seorang memulai bisnis dengan modal 30 juta dibulan
Muharram 1431 H , sementara nishâb untuk harta perniagaan adalah 85 gram emas
dan harga emas 1 gramnya adalah Rp 350.000 sehingga 85 X 350.000 = 29.750.000
Kemudian di bulan Muharam tersebut, ia mendapat keuntungan Rp. 3.000.000 di
bulan Shafar Rp. 2.000.000 dan seterusnya, sehingga di bulan Muharram 1432 H
jumlah modal plus keuntungannya adalah Rp. 75.000.000 Maka zakat yang wajib
dikeluarkan adalah 2,5 % dari Rp. 75.000.000 yaitu Rp. 1.875.000.
Apabila modalnya belum mencapai nishâb kemudian mendapatkan
keuntungan sampai mencapai nishab, maka hitungan haulnya mulai dihitung sejak
nishâb sempurna.
4. Rikâz atau harta karun adalah harta terpendam
yang merupakan peninggalan jahiliyah atau zaman dahulu kala. Harta ini
dikeluarkan zakatnya ketika barang itu ditemukan. Ini berdasarkan sabda
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فِي الرِّكَازِ الْخُمُسَ
Pada harta karun ada zakat seperlima (20 %). [Muttafaqun
‘Alaihi].
Juga karena keberadaannya menyerupai buah-buahan dan biji-bijian
yang keluar dari tanah. Sehingga diwajibkan ketika mendapatkannya
5. Tambang (al-mi’dan) yaitu semua yang
dikeluarkan dari bumi berupa barang-barang selain tanah yang dibuat di dalam
tanah dan bernilai, seperti besi, batu permata (al-yaqût), batu aqiq, aspal,
minyak bumi dan lain-lainnya yang dinamakan barang tambang. Apabila seorang
mendapatkan barang tambang itu dan mencapai nishab, maka wajib ditunaikan
zakatnya secara langsung ketika mendapatkannya. Tidak dikeluarkan zakatnya
sampai diolah dan dibersihkan. Zakatnya adalah 2,5 %.[9]
Imam al-Khiraqi menyatakan, “Apabila dikeluarkan dari bahan
tambang berupa emas duapuluh mitsqâl atau perak sejumlah duaratus dirham atau
senilai tersebut dari seng (zenk), timbal, kuningan atau selainnya dari yang
digali (ekploitasi) dari dalam bumi, maka diwajibkan zakat diwaktunya.[10]
TERPUTUSNYA HAUL
Haul terputus atau dianggap gagal dengan sebab-sebab berikut:
1. Apabila nishâb berkurang ditengah-tengah tahun sebelum sempurna haul, maka terputuslah haul. Contohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing dan sebelum sempurna setahun berkurang seekor, maka ia tidak wajib menzakati sisanya. Karena adanya nishâb dalam setahun adalah syarat wajib zakat.
1. Apabila nishâb berkurang ditengah-tengah tahun sebelum sempurna haul, maka terputuslah haul. Contohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing dan sebelum sempurna setahun berkurang seekor, maka ia tidak wajib menzakati sisanya. Karena adanya nishâb dalam setahun adalah syarat wajib zakat.
2. Apabila
menjual sebagian dari nishabnya dengan syarat:
a. Pembayarnya tidak sejenis
b. Bukan karena takut terkena zakat
c. Harta tersebut bukan termasuk barang yang diperdagangkan.
Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka dia tidak diwajibkan zakat.
Cotohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing lalu sebelum sempurna setahun ia
jual dua ekor kambing dengan uang seharga 2 juta Rupiah bukan karena takut
mengeluarkan zakat. Juga kambing tersebut bukan disiapkan untuk diperdagangkan.
Maka terputuslah haulnya.
3. Apabila harta yang sudah masuk nishâb diganti dengan jenis lain
ditengah-tengah haul bukan untuk menghindari kewajiban zakat maka terputuslah
haul[11]. Contohnya, seorang memiliki 40 ekor
kambing lalu sebelum setahun masa nishâb tersebut ia ganti dengan onta atau
sapi. Maka haul zakatnya terputus dan mulai baru lagi dengan haul onta atau
sapi itu dimulai pada hari pergantian bila onta dan sapi itu mencapai nishâb.
Namun bila ia menjual sebagian nishabnya dengan yang sejenis maka
haulnya tidak terputus. Contohnya, seorang memiliki emas berupa kalung sebesar
nishâb (85 gram) berjumlah 5 buah lalu dijual dua buah dan ditukar dengan
gelang emas dan berat keseluruhannya masih 85 gram maka haul gelang emas
tersebut ikut haul kalung emas. Sehingga bila ia memiliki emas senishab
tersebut pada 1 Ramadhan 1431 H, lalu ia tukar dengan gelang tersebut pada
tanggal 6 Rajab 1432 H. Maka tetap membayar zakatnya secara keseluruhan pada
tanggal 1 Ramadhan 1432 H.
Memang dalam permasalahan pertukaran harta zakat yang sudah
mencapai nishâb dengan harta zakat lainnya yang juga senishab baik pertukaran
biasa atau jual beli ada perbedaan pendapat para Ulama. Perbedaan pendapat ini
dapat dijelaskan berikut ini:
(a). Apabila dijual atau ditukar dengan harta lain sejenis yang
juga sudah mencapai nishâb atau lebih, maka haulnya dihitung berdasarkan nishâb
yang pertama, sehingga tetap wajib dizakati apabila sempurna setahun (haul).
Inilah pendapat imam Mâlik dan Ahmad. Pendapat ini sejalan dengan pendapat imam
Abu Hînifah pada barang berharga (al-atsmaan). Sedangkan dalam komoditi
perniagaan maka haulnya tidak terputus sama sekali dengan pertukaran dan jual
beli.
(b). Apabila harta zakat yang sudah mencapai nishâb ditukar atau
dijual dengan harta zakat jenis lain yang juga sudah mencapai nishâb atau
lebih, maka terputuslah perhitungan haul dari harta zakat pertama dan dimulai
hitungan haul baru untuk harta zakat kedua; Kecuali pada emas dengan perak atau
sebaliknya, ada dua riwayat dari madzhab Ahmad bin Hambal. Pendapat pertama
menyatakan tidak terputus haulnya dan inilah yang dirâjihkan oleh penulis kitab
Zâdul Mustaqni’, karena emas ddan perak adalah harta yang sama sehingga seperti
satu harta. Pendapat kedua menyatakan haulnya terputus dan tidak disamakan
antara emas dan perak, karena keduanya jenis yang berbeda sebagaimana
disampaikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ
وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ
وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً
بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ
شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, jewawut dengan
jewawut, gandum dengan gandum dan kurma dengan kurma serta garam dengan garam
harus setara dan kontan. Apabila jenis-jenisnya berbeda maka juallah sesuka
kalian dengan syarat kontan. [HR. Muslim, no. 1587].
Pendapat keduan ini dirâjihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhul
Mumti’ 6/44.
(c). Sedangkan imam asy-Syâfi’i rahimahullah berpendapat, haul
satu harta yang telah mencapai nishâb tidak digabung dengan haul harta yang
lain sama sekali. Beliau mendasarkan pendapatnya dengan sabda Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ زَكَاةَ فِيْ مَالٍ
حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
Tidak ada zakat dalam harta hingga berlalu setahun lamanya [HR. Ibnu
Mâjah no. 1792 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Ibnu Mâjah 2/98].
Pendapat ini berbeda dengan Ibnu Qudâmah rahimahullah. Beliau
rahimahullah mengatakan, “Pendapat kami adalah harta yang telah mencapai nishâb
digabungkan dengan haul harta pertumbuhannya dalam hitungan Haul, sehingga haul
penggantinya yang sejenis dibangun diatas haul tersebut, sama seperti komoditi
perniagaan. Hadits ditas dikhususkan dengan pertumbuhan, hasil keuntungan dan
barang komoditi perniagaan. Sehingga kita qiaskan (analogikan) permasalahan ini
kepadanya.[12]
(d). Ada satu riwayat dari imam Ahmad yang menyatakan apabila
harta zakat yang telah mencapai nishab dijual atau ditukar dengan harta baru
yang telah mencapai nishab, maka haul harta yang kedua melanjutkan perhitungan
haul harta pertama secara mutlak, baik sejenis atau berlainan jenis. Pendapat ini
dirâjihkan oleh syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah. Beliau
rahimahullah berkata, “Yang benar adalah pendapat madzhab Imam Ahmad yang
menyatakan bahwa pertukaran nishâb harta zakat dengan nishâb harta zakat
lainnya tidak menghalangi kewajiban zakat dan tidak pula memotongnya, baik
keduanya sejenis atau berlainan jenis. Pembedaan antara barang yang sejenis dan
tidak sejenis tidak ada dalilnya. Hakekatnya adalah tidak ada perbedaan antara
keduanya. Juga karena pendapat yang menyatakan memutus perhitungan haul apabila
ditukar dengan harta zakat jenis lainnya mengakibatkan terbukanya pintu
rekayasa untuk menghindari zakat.[13]
Adapun hitungan haul barang komoditi perniagaan maka tidak
terputus haulnya dengan sebab pertukaran dan jual beli.[14]
Apabila ada keuntungan dalam perniagaan tersebut maka hitungan
haul keuntungan dihitung dengan dasar hitungan haul modalnya. Demikian juga
apabila terjadi kenaikan harga barang tersebut, maka zakatnya diwajibkan pada
semua nilainya dan bila ada penurunan harga maka dizakati nilai barang yang ada
sesuai harga yang ada tersebut.[15]
Demikian beberapa masalah seputar perhitungan Haul dalam zakat
semoga bermanfaat dan bisa menjadi pencerahan kepada para wajib zakat dan
amilnya.
Wabillahittaufiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XV/1432H/2011M.
_______
Footnote
[1] Lihat Shahih Fikih Sunnah 2/11-12
[2] HR al-baihaqi 4/108 dengan sanad yang
shahih lihat al-Irwa’ al-Ghalil 3/252.
[3] Asy-Syarhul Mumti’, 6/21 dan
al-Mulakhashul Fiqhi 1/223)
[4] Lihat Hasyiyah ibnu Qaasim atas
ar-raudh al-Murbi’ 2/168
[5] Lihat tambahan contoh pada asy-Syarhul
Mumti’ 5/21
[6] Lihat al-Mughni 4/73
[7] Lihat al-Mulakhash al-Fiqhi 2/224
[8] Lihat al-Mulakhash al-Fiqh 2/224
[9] Lihat al-Mughni 4/238-244
[10] Mukhtashar al-Khirâqi yang dicetak
bersama al-Mughni 4/238
[11] Sebagaimana dirâjihkan Syaikh Ibnu
Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’ 6/43
[12] Al-Mughni 4/135
[13] Al-Mukhtârât al-Jaliyah minal Masâ’il
al-Fiqhiyah, hlm. 76-77
[14] Lihat Majmû’ Fatâwa Wa Rasâ’il Ibnu Utsaimin
18/51.
[15] Lihat Majmû’ al-Fatâwâ Syaikh bin Bâz
-12/50 dan asy-Syarhul Mumti’
(Sumber: https://almanhaj.or.id/9285-syaratsyarat-wajib-zakat-mal.html )
==================
* Ust. Kholid Syamhudi, Lc. Alumnus Universitas Islam Madinah. Pernah menjabat pimpinan Ma’had
Jamillurahman Yogyakarta serta pernah mengajar di Pondok Pesantren Imam
Bukhori, Solo hingga tahun 2006. Beliau juga salah satu dewan redaksi Majalah
Assunnah, Solo. Saat ini kegiatan beliau banyak dihabiskan sebagai pimpinan PP
Ibnu Abbas Sragen, pengasuh Ma’had Al Ukhuwah dan dewan pembina Perkumpulan
lembaga Dakwah dan Pendidikan Islam Indonesia (PULDAPII) serta ketua pembina
Yayasan Bina Pengusaha Muslim dan Yufid.
* Ust. Sofyan
Kaoy Umar, MA, CPIF, Alumnus Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya, Spesialisasi bidang Ekonomi, Bisnis
dan Keuangan Islam. Gelar Profesi CPIF (Chartered Professional in Islamic
Finance) dari CIIF (Chartered Institute of Islamic Finance) yang berpusat
di Kuala Lumpur, Malaysia. Berguru dengan banyak ulama di Malaysia dan Indonesia. Alhamdulillah,
sudah berguru dengan beberapa Ulama dunia pemegang Sanad al-Qur’an yaitu dengan
Asy-Syaikh Sayyid Harun ad-Dahhab (Ulama Qira’at dari Univ. Al Azhar, Mesir), dan
Syeikh al-Mukri Abdurrahman Muknis al-Laitsi (Guru al-Qur’an dari Dar
al-Azhar, Mesir), serta belajar metode Hafalan dengan Syaikh DR Said Thalal
al-Dahsyan (Direktur Dar al-Qur’an al-Karim wa Sunnah, Palestina).
Sekarang ini mengurus Baitul Mal
Mina, NGO IndoCares, MTEC dan Darul Qur’an Mina. e-mail: ustazsofyan@gmail.com.