Allâh
Azza wa Jalla telah memberikan karunia kepada kita dalam aneka ragam
kenikmatan, diantaranya hasil yang tumbuh dan keluar dari bumi. Bentuknya
beragam, ada hasil pertanian dan buah-buahan, madu, harta terpendam dan barang
tambang. Semua ini tentunya ada hak-hak yang harus ditunaikan. Tentunya semua
harus dengan dasar syariat yang benar agar jangan sampai mengambil yang bukan
haknya atau menahan yang sudah menjadi hak Allâh Subhanahu wa Ta’ala atasnya.
Berikut
penjelasan singkat tentang permasalahan ini, semoga dapat memberikan pencerahan
kepada masyarakat Islam yang umumnya sudah jauh dari syariat Islam yang benar.
Zakat
Hasil pertanian disyariatkan dalam Islam berdasarkan al-Qur`ân dan as-Sunnah
serta Ijmâ’. Diantara dasar tersebut :
1.
Firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ
مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ
بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ
حَمِيدٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allâh) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk
kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allâh Maha Kaya lagi Maha
Terpuji. [QSal-Baqarah/2:267]
2.
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ
جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا
أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ ۚ
كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ ۖ وَلَا
تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Dan
Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon
korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan
delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah
dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah
haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin);
dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang
yang berlebih-lebihan. [al-An’am/6:141]
3.
Hadits Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ
وَالْعُيُوْنُ، أَوْ كَانَ عَثَريّاً : الْعُشُرُ، وَمَا سُقِيَ باِلنَّضْحِ:
نِصْفُ الْعُشُرِ
Pada
pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan penyerapan
akar (Atsariyan) diambil sepersepuluh dan yang disirami dengan penyiraman
maka diambil seperduapuluh. [HR al-Bukhâri]
4.
Hadits Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa beliau mendengar Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فِيْمَا سَقَتِ
الأَنْـهَارُ وَالْغَيْمُ: الْعُشُوْرُ، وَفِيْمَا سُقِيَ بِالسَّانِيَةِ: نِصْفُ
اْلعُشُرِ
Semua
yang diairi dengan sungai dan hujan maka diambil sepersepuluh dan yang diairi
dengan disiram dengan pengairan maka diambil seperduapuluh [HR Muslim]
5.
Hadits Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu yang berbunyi :
بَعَثَنِيّ رَسُوْلُ اللهِ n إِلَى الْيَمَنِ
فَأَمَرَنِيْ أَنْ آخُذَ مِمَّا سَقَتِ السَّمَاءُ: الْعُشُرَ، وَفِيْمَا سُقِيَ
باِلدَّوَالِيْ: نِصْفَ الْعُشُرِ
Rasûlullâh
mengutusku ke negeri Yaman lalu memerintahkan aku untuk mengambil dari yang
disirami hujan sepersepuluh dan yang diairi dengan pengairan khusus maka
seperduapuluh [HR. an-Nasâ’i dan dishahihkan al-Albâni rahimahullah dalam
Shahîh Sunan an-Nasâ`i 2/193]
Sedangkan
Ijma’ telah menetapkan kewajiban zakat pada gandum, anggur kering dan kurma
sebagaimana dinukilkan oleh Ibnul Mundzir rahimahullah dan Ibnu Abdilbarr
rahimahullah serta Ibnu Qudâmah rahimahullah.[1]
SYARAT
KEWAJIBAN ZAKAT PADA HASIL PERTANIAN DAN BUAH-BUAHAN
a. Berupa Biji-bijian atau Buah-buahan.Ini berdasarkan hadits Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu secara marfu’ yang berbunyi:
لَيْسَ فِيْ حَبٍّ وَلاَ
ثَمَرٍ صَدَقَةٌ حَتَّى يَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ…
Tidak
ada (kewajiban) zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausâq
(lima wasaq) [HR Muslim]
Hadits
ini menunjukkan adanya kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma,
selainnya tidak dimasukkan disini. [Lihat al-Kâfi karya Ibnu Qudamah 2/131]
b.
Bisa ditakar karena diukur dengan wasq yaitu satuan alat takar, seperti dalam
hadits diatas. Syarat ini masih diperselisihkan para ulama. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah menyanggah persyaratan dapat ditakar. Beliau rahimahullah
menyatakan bahwa syarat “dapat ditakar” itu hanya ada pada komoditi ribawi saja
agar terwujud kesetaraan yang mu’tabar. Dan syarat ini tidak berlaku dalam
masalah zakat. Beliau rahimahullah merajihkan pendapat yang menetapkan syarat
wajib zakat pada barang yang keluar dari bumi hanyalah dapat disimpan
(al-Iddikhâr), karena adanya pengertian yang sesuai dengan kewajiban zakat.
Berbeda dengan takaran, karena ia sekedar satuan ukuran semata dan timbanganpun
sama artinya dengannya. (lihat al-Ikhtiyârât al-fiqhiyat, hlm 149 dan Shahîh
Fiqhissunnah 2/42). Yang rajih –wallâhu a’lam- pensyaratan dapat ditakar adalah
mu’tabar karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan takaran wasaq
dalam menentukan nishab zakat hasil pertanian dan perkebunan ini. Oleh karena
itu, Syaikh Prof.DR. Shâlih bin Abdillah Al Fauzân –hafizhahullâh- menyatakan,
“Diwajibkan zakat pada hasil perkebunan seperti korma, Anggur kering dan
sejenisnya dari semua yang ditakar dan dapat disimpan lama (Iddikhâr).
[al-Mulakhash al-Fiqh 1/233].
c.
Dapat disimpan, karena semua komoditi yang disepakati dikenai kewajiban zakat
berupa komoditi yang bisa disimpan. Oleh karena itu diwajibkan zakat pada semua
biji-bijian dan buah-buahan yang dapat ditakar dan disimpan, seperti gandung,
kurma, anggur kering (Zabib) dan lain-lainnya. (lihat al-Kâfi, 2/132).
d.
Tumbuh dengan usaha dari manusia. Tanaman yang tumbuh liar tidak ada zakatnya,
karena bukan menjadi kepemilikannya secara resmi. Syarat ini diungkapkan dengan
istilah:
وَيُعْتَبَرُ أَنْ
يَكُوْنَ النِّصَابُ مَمْلُوْكاً لَهُ وَقْتَ وُجُوْبِ الزَّكَاةِ
Dan
nishab yang dianggap adalah nishab yang menjadi miliknya ketika waktu kewajiban
zakat [lihat asy-Syarhul Mumti’ 6/78].
e.
Mencapai nishab yaitu seukuran 5 wasaq berdasarkan sabda beliau :
لَيْسَ فِيْ حَبٍّ وَلاَ
ثَمَرٍ صَدَقَةٌ حَتَّى يَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ…
Tidak
ada kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausaaq
(lima wasaq) [HR Muslim].
Satu
wasaq sama dengan enampuluh sha’ (60 sha’) dan satu sha’ sama dengan 4 mud.
Satu mudnya adalah seukuran penuh dua telapak tangan orang yang sedang. Lima
wasaq yang dijadikan standar adalah setelah pembersihan biji-bijian dan kering
pada buah-buahan. [al-Mughni, 4/162]
Dalam
masalah ukuran nishab ini para Ulama terjadi perbedaan pendapat dalam dua
pendapat:
a.
Zakat pertanian dan buah-buahan tidak diwajibkan hingga mencapai 5 wasaq. Ini
adalah pendapat mayoritas Ulama. Diantara mereka adalah Ibnu Umar Radhiyallahu
anhuma , Jâbir Radhiyallahu anhu, Abu Umâmah bin Sahl Radhiyallahu anhu, Umar
bin Abdulaziz, Jâbir bin Zaid, al-Hasan al-Bashri, ‘Atha’, Makhûl, al-Hakam,
an-Nakhâ’i, Mâlik, ats-tsauri, al-‘Auza’i, Ibnu Abi Laila, asy-Syâfi’i, Abu
Yûsuf , Muhammad bin al-Hasan dan banyak Ulama lainnya. Ibnu Qudâmah
rahimahullah menyatakan, “Kami belum tahu seorangpun yang menyelisihi mereka
kecuali Mujâhid dan Abu Hanîfah serta pengikutnya.”[al-Mughni 4/161]
b.
Mujâhid rahimahullah dan Abu Hanîfah rahimahullah serta pengikutnya berpendapat
bahwa zakat diwajibkan baik sedikit maupun banyak, karena keumuman sabda
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فِيْمَا سَقَتِ
السَّمَاءُ: الْعُشُرُ
"Semua
yang ditanam dengan tadah hujan dikenai seper sepuluh".
Juga
karena dalam zakat hasil bumi ini tidak menggunakan standar haul (genap
setahun) maka tentunya juga tidak menggunakan standar nishab.Sementara
itu, Ibnu Qudâmah rahimahullah dengan tegas menyatakan pilihannya pada pendapat
pertama dengan menyatakan, “Kami memiliki dalil sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam
لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ
خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ
“Tidak
ada kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausaaq
(lima wasaq).”
[Muttafaqun ‘Alahi].Hadits yang bersifat ini khusus ini yang wajib didahulukan
dan hadits ini mentakhsish (mengkhususkan) keumuman yang mereka riwayatkan
tersebut.” [al-Mughni, 4/161]. Oleh karena itu, jelaslah kebenaran pendapat
pertama karena adanya dalil yang cukup tegas dalam masalah nishab. Wallahu
a’lam.
Sudah
diketahui bersama bahwa buah kurma memiliki banyak spesies, ada sukkari,
barkhi dan khullash serta yang lainnya. Untuk menyempurnakan,
maka spesies-spesies itu dicampur dan disatukan. Demikian juga misalnya beras
dengan ragam spesiesnya. Apabila seorang memiliki area persawahan yang tersebar
dibeberapa lokasi lalu ditanami padi dengan spesies yang berbeda-beda, maka
hasil panennya dihitung semuanya tanpa membedakan spesiesnya.. Apabila sudah
mencapai nishab, maka diwajibkan membayar zakat. Demikian juga bila panennya
lebih dari sekali, maka dicampurkan panen selama setahun lalu zakatnya
ditunaikan. Namun bila jenisnya berbeda seperti kurma dengan zabib (anggur
kering/kismis), maka itu tidak dicampur dalam menghitung nishabnya.
Ibnu
Qudâmah rahimahullah berkata, “Tidak ada
perbedaan pendapat diantara para Ulama pada selain biji-bijian dan atsman (emas
dan perak) untuk tidak disatukan satu jenis dengan jenis yang lainnya dalam
penyempurnaan nishab. Hewan ternah ada tiga jenis yaitu onta, sapi dan kambing.
Tidak dicampur satu jenis dari hewan ternak tersebut dengan lainnya dan
buah-buahan tidak dicampur dengan buah lainnya. Sehingga kurma tidak dicampur
dengan zabib (anggur kering) dan kacang (lauz) tidak dicampur dengan kacang
fustaq serta tidak sesuatu dari hal-hal ini dicampur kepada lainnya. Atsmân
(emas dan perak) tidak dicampur dengan hewan ternak dan tidak juga dengan
biji-bijian dan buah-buahan. Tidak ada perbedaan pendapat diantara mereka bahwa
spesies dari jenis-jenis tersebut dicampur dalam penyempurnaan nishab. Kami
tidak mengetahui perbedan diantara mereka juga dalam barang dagangan dicampur
dengan atsmân dan atsmân dicampur dengan barang dagangan, kecuali imam
asy-Syâfi’i rahimahullah yang tidak menggabungnya kecuali kepada jenis yang
dijadikan barang dibeli; karena nishabnya mu’tabar”. [al-Mughni, 4/203-204]
Spesies
biji-bijian dari satu jenis digabungkan, sehingga jenis gandum yang beragam
digabungkan. Demikian juga jenis beras dengan rajalele, sadani, mentik
wangi, IR dan lainnya digabungkan untuk menyempurnakan nishab. Demikian
juga bila seorang memiliki beberapa lahan di tempat yang berbeda, maka
digabungkan hasil dari semua lahan yang ada untuk menyempurnakan nishab.
Ibnu
Qudâmah rahimahullah menjelaskan bahwa Ulama berbeda pendapat dalam
menggabungkan biji-bijian untuk menyempurnakan nishab dan menyatukan emas dan
perak kepada yang lainnya. Diriwayatkan dari imam Ahmad tiga riwayat yaitu :
a.
Riwayat pertama yaitu tidak digabung satu jenis biji-bijian dengan lainnya dan
nishabnya dengan standar dalam satu jenis tersebut saja. Ini adalah pendapat
‘Atha’, Makhûl, Ibnu Abi laila, al-Auzâ’i, ats-Tsauri, al-Hasan bin Shalih,
Syuraik, asy-Syâfi’i, Abu Ubaid, Abu Tsaur dan ashâb ar-ra’i; karena
biji-bijian itu beda jenisnya sehingga nishabnya diperhitungkan dalam setiap
jenisnya seperti buah-buahan dan hewan ternak.
b.
Riwayat kedua: biji-bijian seluruhnya digabungkan dalam menyempurnakan nishab.
Ini adalah pendapat Ikrimah dan Ibnu Mundzir menceritakannya dari Thawûs.
c.
Riwayat ketiga: al-hinthah digabungkan dengan gandum dan al-quthniyat juga.
al-Quthniyat adalah jenis biji-bijian berupa ‘adas, al-himsh, beras, as-simsim,
ad-dakhn dan kacang tanah. Ini disampaikan al-Khiraqi dari Ahmad dan ini adalah
madzhab imam Mâlik.
Setelah
menyampaikan hal ini Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, “Riwayat pertama
lebih rajih –insya Allâh-, karena biji-bijian tersebut beda jenisnya sehingga
mungkin dibedakan, tidak digabungkan seperti buah-buahan. [al-Mughni,
4/204-205. (Lihat juga asy-Syarhu al-Mumti’ 6/77)]
Zakat
pada biji-bijian mulai diwajibkan apabila biji-bijian itu sudah kuat dan tahan
bila di tekan. Sedangkan pada buah-buahan adabila sudah layak konsumsi
seperti sudah memerah atau menguning pada buah korma. Penjelasan tentang layak
konsumsi ini ada dalam beberapa hadits diantaranya :
a.
Hadits Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu secara marfû’ dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam . Haditsnya berbunyi :
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى تُزْهَي. قِيْلَ: وَمَا
زَهْوَهَا؟ قَالَ: تَحْمَارُّ وتُصْفَارُّ
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli buah-buahan hingga matang. Ada
yang bertanya, ‘Apa tanda matangnya?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, ‘Memerah dan menguning.’ [Muttafaqun ‘Alaih]
b.
Hadits Anas Radhiyallahu anhu juga , beliau berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعِنَبِ حَتَّى يَسْوَدَّ، وَعَنْ
بَيْعِ اْلحَبِّ حَتَّى يَشْتَدَّ
"Nabi
melarang menjual anggur hingga berwarna kehitaman dan (melarang) dari jual beli
biji-bijian hingga masak." [HR Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ibnu Mâjah dan
dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Daud 2/344]
c.
Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , beliau Radhiyallahu anhuma berkata :
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ
صَلاَحُهَا، نَهَى اْلبَائِعَ وَاْلمُبْتَاعَ. وَفِيْ لَفْظٍ لِلْبُخَارِيْ: كَانَ
إِذَا سُئِلَ عَنْ صَلاَحِهَا قَالَ: حَتَّى تَذْهَبَ عَاهَتُهَا
Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli buah-buahan hingga nampak
layak. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang yang jual dan yang membeli.
(Dalam lafadz Imam al-Bukhâri) : Apabila Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ditanya tentang layaknya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
‘Hingga hamanya hilang’ [Mmuttafaqun ‘Alaihi].
Apabila
buah-buahan sudah nampak layak dikonsumsi atau biji-bijian sudah matang,
maka diwajibkan padanya zakat, ini menurut pendapat yang rajih dalam hal ini.
Sebagian Ulama ada yang berpegang kepada keumuman firman Allâh Azza wa Jalla
pada surat al-An’âm ayat ke-141 untuk mewajibkan zakat pertanian pada saat
panennya. Namun mayoritas Ulama memandang waktu wajibnya zakat pertanian adalah
ketika sudah matang dan pada hasil perkebunan ketika layak konsumsi. [lihat
al-Mughni 4/169 dan Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’ 4/89].
Apa
manfaat dari mengetahui waktu kewajiban zakat ini ? Manfaatnya adalah pemilik
seandainya beraktifitas pada buah-buahan atau biji-bijian tersebut sebelum
terkena kewajiban zakat maka dia tidak berdosa. Seperti seseorang yang
mengkonsumsi hewan ternaknya atau menjualnya sebelum genap setahun maka ia
tidak mengapa dan tidak dikenai hukuman apapun. Dia tidak berdosa dengan syarat
tidak ada maksud atau niatan untuk lari dari kewajiban zakat. Apabila ia
sengaja melakukan sesuatu dengan niatan dan maksud lari dari kewajiban zakat
maka kewajiban zakat tetap berlaku dan tidak gugur. Tidak akan dianggap masuk
masa wajib zakat hingga hasil bumi tersebut masuk kelumbung atau tempat
penyimpanan. Seandainya hasil bumi tersebut hilang atau berkurang sebelum waktu
tersebut tanpa ada kesengajaan, maka tidak ada zakat padanya (bila tidak sampai
sisanya nishab) walaupun sudah ditebas atau belum. Apabila hilang setelah masuk
dalam penyimpanan, menurut Ibnu Qudâmah hukumnya menjadi tanggungannya, karena
kewajiban sudah masuk dalam tanggung jawabnya, sehingga menjadi hutangnya.
[lihat al-Mughni, 4/169-171]
Berdasarkan
hal ini maka hasil pertanian dan perkebunan memiliki tiga keadaan:
a. Hilang atau lenyap sebelum masa kewajiban zakat yaitu sebelum biji-bijian menjadi masak dan sebelum buah-buahan layak konsumsi, maka pemiliknya tidak dikenakan apa-apa, baik ada unsur kesengajaan atau keteledoran atau tanpa keduanya, kecuali bila sengaja untuk lari dari kewajiban zakat.
a. Hilang atau lenyap sebelum masa kewajiban zakat yaitu sebelum biji-bijian menjadi masak dan sebelum buah-buahan layak konsumsi, maka pemiliknya tidak dikenakan apa-apa, baik ada unsur kesengajaan atau keteledoran atau tanpa keduanya, kecuali bila sengaja untuk lari dari kewajiban zakat.
b.
Hilang atau lenyap setelah masa wajib zakat namun belum sampai disimpan dalam
lumbung atau tempat penyimpanan. Maka hukumnya dirinci, bila karena kesengajaan
atau keteledoran pemilik maka ia wajib mengganti zakat tersebut dan bila tanpa
kesengajaan dan keteledoran maka tidak ada kewajiban mengganti zakat tsrebut.
c.
Hilang atau lenyap setelah disimpan, maka imam Ibnu Qudâmah rahimahullah
menyatakan wajib menunaikan zakatnya dalam semua keadaan, baik ada kesengajaan
atau tidak, karena zakat sudah masuk masa wajibnya dan menjadi tanggung
jawabnya. (al-Mughni 4/170-171). Sedangkan syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan,
“Yang benar dalam keadaan yang ketiga ini adalah tidak wajib zakat selama tidak
ada unsur kesengajaan atau keteledoran; karena harta yang ada padanya setelah
disimpan ditempat penyimpanan adalah amanah. Apabila ada kesengajaan atau
keteledoran seperti menunda-nunda pembayaran zakatnya sampai harta tersebut
dicuri atau yang sejenisnya, maka ia bertanggung jawab (menggantinya). Apabila
tidak ada kesengajaan atau keteledoran dan telah berusaha semampunya untuk
segera membayarnya namun hilang juga dengan adanya usaha yang benar dalam
memelihara dan menjaganya, maka tidak ada kewajiban menggantinya.[asy-Syarhu
al-Mumti’ 6/82].
Ukuran
zakat hasil pertanian dan perkebunan ini dapat dirinci dalam 5 keadaan:
1.
Diwajibkan mengeluarkan seper sepuluh (10 %) apabila disiram tanpa
pembiayaan (tadah hujan dan sejenisnya), seperti pertanian tadah hujan,
pertanian menggunakan sungai dan mata air
2.
Wajib mengeluarkan seperduapuluh (5 %) apabila diairi dengan pembiayaan,
berdasarkan hadits Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فِيْمَا سَقَتِ السّماءُ
وَاْلعُيُوْنُ، أَوْ كَانَ عَثَريّاً : الْعُشُرُ، وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ:
نِصْفُ الْعُشُرِ
"Pada
pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan penyerapan akar
(atsariyan) diambil sepersepuluh dan yang disirami dengan penyiraman maka
diambil seperduapuluh. [HR al-Bukhâri]
3.
Diwajibkan mengeluarkan 7,5 % apabila diairi dengan pembiayaannya 50 % dan
tadah hujannya 50 %. Hal ini sudah menjadi Ijma’ (kesepakatan) para Ulama
sebagaimana disampaikan Ibnu Qudâmah dalam al-Mughni 4/165. Lihat juga ar-Raudh
al-Murbi’ dengan Hasyiyah Ibnu Qâsim 2/277.
4.
Yang diairi dengan pembiayaan dan non pembiayaan secara bergantian. Contohnya
sawah yang diairi dengan irigasi yang bayar dan juga terkena hujan, maka
dilihat mana yang paling berpengaruh pada pertumbuhan tanaman tersebut. Bila
yang tadah hujan yang lebih dominan maka diwajibkan mengeluarkan 10 % dan bila
sebaliknya maka diwajibkan 5 % saja.
5.
Apabila tidak diketahui ukuran mana yang dominan maka diwajibkan mengeluarkan
10 %, karena pada asalnya diwajibkan zakat 10 % hingga diketahui dengan jelas
bahwa itu diairi dengan pembiayaan. (al-Mughni 4/166).
Demikian beberapa hukum seputar zakat hasil pertanian dan perkebunan, semoga bermanfaat
Demikian beberapa hukum seputar zakat hasil pertanian dan perkebunan, semoga bermanfaat
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XV/1433H/2011. _______
Footnote
[1]. lihat al-Mughni 4/154
*******************************Footnote
[1]. lihat al-Mughni 4/154
Kontributor: Ustadh Kholid Syamhudi Lc; Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com