WAKAF PROFESI
Praktik wakaf yang ada di tengah masyarakat jenisnya beragam,
mulai dari yang sudah populer seperti wakaf tanah, bangunan, al-Quran sampai
yang belum populer seperti wakaf saham. Meskipun jenis wakaf sudah beragam saat
ini, namun masih terbuka munculnya jenis wakaf baru yang dapat mewujudkan
kesejahteraan, pembangunan, dan kemajuan masyarakat.
Kemunculan jenis wakaf baru sangat terbuka mengingat
wakaf tidak ada penjelasannya dalam al-Qur’an, hanya hadis yang menjelaskannya
dalam bentuk hukum yang global dan umum yaitu menahan pokok harta wakaf dengan
tidak menjualnya, menghibahkannya, atau mewariskannya, dan menyalurkan hasilnya
sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis yang menerangkan wakaf Umar bin Khattab
atas tanahnya di Khaibar. Dengan terbatasnya penjelasan wakaf dalam hadis, maka
hukum wakaf yang rinci menurut Mustafa Ahmad Az Zarqa ditetapkan berdasarkan
ijtihad dan qiyas di mana akal fikiran memiliki peran penting di dalamnya.
Para fuqaha terdahulu mengkaji hukum-hukum wakaf atas
berbagai jenis wakaf yang berkembang pada masa mereka dengan berijtihad dalam
mengeluarkan hukum yang beragam sebagai hasil pemikiran mereka, seperti
persoalan wakaf buku, wakaf sementara, dan wakaf uang. Dalam menetapkan hukum atas
berbagai persoalan wakaf tersebut mereka berbeda pendapat, sebagaian mereka
membolehkan dan sebagiannya lagi melarang. Meskipun terdapat perbedaan hukum,
namun jenis-jenis wakaf tersebut berperan dan berkontribusi dalam mewujudkan
pembangunan masyarakat.
Oleh karena itu, sebagai bagian dari upaya menjadikan
wakaf terus berperan dan berkontribusi dalam pembangunan masyarakat, maka perlu
dimunculkan jenis-jenis wakaf baru yang ditetapkan berdasarkan ijtihad antara
lain wakaf profesi. Selama ini kita sudah mengenal zakat profesi yaitu zakat
yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik
yang dilakukan sendiri maupun bersama orang/lembaga lain, yang mendatangkan
penghasilan (uang) yang memenuhi nishab, misalnya profesi dokter, konsultan,
advokat, dosen, arsitek, penceramah, dan sebagainya. Zakat profesi ini digagas
pada masa kontemporer oleh Yusuf Qardhawi dalam bukunya Fiqh Az Zakah, ini
artinya pada masa lalu belum ada zakat profesi. Gagasan zakat profesi ini
dikaji oleh berbagai pihak dan lembaga, bahkan akhirnya Majelis Ulama Indonesia
pada tahun 2003 mengeluarkan Fatwa tentang Zakat Penghasilan.
Setelah fatwa ini dikeluarkan, zakat profesi atau zakat
penghasilan ditunaikan oleh pegawai, karyawan, pejabat negara, profesi dokter,
konsultan, dan lain-lain bahkan hasilnya mendominasi perolehan zakat yang
dihimpun oleh Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat. Dana zakat yang
dikumpulkan dari zakat profesi ini, banyak membantu program-program keumatan
baik pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, dakwah, dan sebagainya sehingga
berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama fakir miskin.
Jika zakat profesi pada masa lalu tidak ada, kemudian
pada masa kini diadakan dengan ditetapkan hukumnya dan berdampak pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka wakaf profesi perlu dikaji
kebolehannya dalam rangka memperbanyak jenis wakaf untuk mewujudkan
kesejahateraan masyarakat.
Dalam membahas wakaf profesi, perlu dijelaskan pengertian
wakaf yang disampaikan oleh Munzir Qahf yaitu: menahan harta untuk selamanya
atau sementara guna dimanfaatkan secara berulang atau dengan (mensedekahkan)
hasilnya dalam berbagai jenis kebajikan yang umum dan yang khusus. Selanjutnya
Munzir Qahf memberikan penjelasan atas pengertian wakaf yang dibuatnya dengan
menyebutkan beberapa hal, di antaranya: wakaf itu terjadi atas harta. Harta
terkadang berupa harta tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, atau harta
bergerak seperti buku dan senjata, dan terkadang berupa barang seperti
alat-alat dan mobil, atau berupa uang seperti untuk mudharabah atau pinjaman,
harta bisa berupa manfaat yang bernilai harta seperti manfaat mengangkut orang
sakit dan jompo atau manfaat dasar yang tetap yang diwakafkan oleh penyewa
seperti hak jalan. Kemudian Munzir Qahf berpendapat bahwa wakaf terjadi atas
barang, manfaat, atau hak yang bernilai harta karena semua itu adalah harta –
menurut mayoritas ulama – terkadang wakaf selamanya atau sementara waktu sesuai
kekekalan harta wakaf atau syarat wakif.
Dengan penjelasan ini maka Munzir Qahf menyebutkan jenis
wakaf baru yang tidak dikenal pada masa lalu, seperti wakaf hak yang bernilai
harta, wakaf manfaat dengan jenisnya yang bermacam-macam, baik hak yang
bernilai harta seperti hak penerbitan, dan manfaat seperti manfaat harta yang
disewa yang menurut mayoritas ulama dianggap sebagai harta.
Pengertian wakaf yang disampaikan oleh Munzir Qahf
menyebutkan bahwa wakaf manfaat termasuk jenis wakaf, dan di antara wakaf
manfaat salah satunya adalah manfaat pekerjaan dari para pekerja, para teknisi,
dan para profesional dengan keahliannya yang beragam. Jadi, wakaf profesi
sesungguhnya adalah wakaf pekerjaan yaitu mewakafkan pekerjaan yang meliputi
pekerjaan fisik yang mengandalkan tenaga yang menghasilkan layanan atau jasa
yang sesuai dengan syariah seperti tukang bangunan, montir atau mekanik
kendaraan, dan pekerjaan non fisik yang mengandalkan akal yang menghasilkan
layanan atau jasa yang sesuai syariah seperti dokter, guru atau dosen, baik
dilakukan secara mandiri atau melalui lembaga dan perusahaan untuk tujuan
kebajikan.
Wakaf profesi atau pekerjaan dapat dilakukan baik untuk
jangka waktu selamanya (wakaf selamanya) maupun untuk jangka waktu tertentu
(wakaf sementara) sebab wakaf menurut Munzir Qahf bisa selamanya atau sementara
sebagaimana disebutkan dalam pengertian wakaf di atas. Untuk lebih jelasnya
wakaf profesi atau pekerjaan selamanya adalah mewakafkan pekerjaan fisik (yang
mengandlkan tenaga) atau pekerjaan non fisik (yang mengandalkan akal) yang
menghasilkan manfaat yang sesuai syariah untuk selamanya atau tidak dibatasi
waktu, baik dilakukan secara mandiri atau melalui lembaga untuk tujuan
kebaikan. Adapun wakaf profesi atau pekerjaan untuk sementara adalah mewakafkan
pekerjaan fisik (yang mengandlkan tenaga) atau pekerjaan non fisik (yang
mengandalkan akal) yang menghasilkan manfaat yang sesuai syariah untuk
sementara waktu, baik dilakukan secara mandiri atau melalui lembaga untuk
tujuan kebaikan. Tujuan wakaf profesi atau pekerjaan adalah memberikan manfaat
yang dihasilkan dari pekerjaan manusia bukan yang dihasilkan dari modal yang
tetap seperti tanah dan rumah di mana manfaat tanah misalnya untuk pertanian,
dan manfaat rumah misalnya untuk tempat tinggal. Wakaf jenis ini yang banyak
dibahas oleh fuqaha terdahulu di mana mereka menegaskan untuk menahan pokok
harta (misalnya tanah dan rumah) dan memberikan manfaatnya (misalnya tanah
untuk pertanian dan rumah untuk tempat tinggal). Demikian juga manfaat yang
dihasilkan dari pekerjaan manusia tidak sama dengan manfaat yang dihasilkan
dari modal yang bergerak seperti manfaat mobil dan manfaat komputer. Manfaat
inilah yang oleh sebagian fuqaha sah untuk diwakafkan, misalnya seseorang yang
memiliki mobil atau komputer dapat mewakafkan manfaat dari barang tersebut yang
dimilikinya.
Berdasarkan penjelasan di atas, sesuai kaidah fikih wakaf
yang ditetapkan oleh fuqaha terdahulu seseorang dapat mewakafkan manfaat suatu
barang yang dimilikinya. Dengan demikian manfaat yang dihasilkan dari wakaf
pekerjaan tidak termasuk dalam pengertian wakaf menurut fuqaha terdahulu karena
tidak dihasilkan dari barang yang dimiliki seseorang, tapi dihasilkan dari
anggota badannya yang bukan sebagai objek untuk dimiliki sehingga tidak sah
mewakafkan pekerjaan yang menghasilkan manfaat. Mengenai hal ini Imam Nawawi
telah menyebutkan apa saja yang tidak boleh diwakafkan di antaranya adalah
wakaf orang merdeka atas dirinya. Menurut As Syarbini al-Khotib tidak sahnya
wakaf orang merdeka atas dirinya karena ia tidak memilikinya sebagaimana ia
tidak memberi dirinya, dan tidak sah wakaf manfaat tanpa kepemilikan barangnya
baik sementara seperti ijarah (sewa) atau selamanya seperti wasiat karena
kepemilikan barang adalah pokok dan manfaat adalah cabang, cabang mengikuti
pokok. Itulah pendapat fuqaha terdahulu, namun tentunya terbuka ijtihad baru
dalam persoalan wakaf dengan mengkaji teori fikih tentang manfaat yang
dihasilkan dari pekerjaan.
Dalam fikih dibahas pendapat fuqaha tentang manfaat
apakah dianggap sebagai harta seperti menempati rumah, mengendarai kendaraan,
dan pekerjaan seseorang. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa manfaat bukan sebagai
harta karena tidak mungkin dimiliki sebab manfaat itu tidak ada, kalaupun ada
akan lenyap sedikit demi sedikit. Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa manfaat
sebagai harta karena dapat dimiliki dengan memiliki pokoknya dan manfaat itulah
yang menjadi tujuan dari barang, jika tidak ada manfaatnya tidak akan diminta
sebab manusia cenderung kepada manfaat. Pendapat ini lebih tepat daripada
pendapat sebelumnya karena sesuai dengan kebiasaan yang umum dalam transaksi
keuangan. Menurut Hasan Muhamad Rifai bahwa manfaat pekerjaan seseorang
dianggap sebagai harta sesuai pendapat mayoritas ulama terdahulu, sehingga
manusia memiliki hak menggunakan manfaat dengan cara yang sesuai dengan
syariah.
Dalam fikih kontemporer disebutkan bahwa pekerjaan
maknawi (non fisik) seperti karangan dan penemuan dianggap sebagai hak bagi
pemiliknya yang berhak menggunakannya karena mempunyai manfaat, dan manfaat
sebagai harta sebab bernilai materi yang diakui syara’. Hukum yang sama
seharusnya ditetapkan juga pada pekerjaan fisik yang dilakukan oleh pekerja, ia
mempunyai hak menggunakannya sesuai yang dikehendakinya sebagaimana ia dapat
mengalihkannya dengan imbalan seperti akad ijarah (sewa), atau tanpa imbalan
seperti wakaf. Manfaat pekerjaan seseorang dianggap syariah sebagai harta
dengan dibolehkannya menjadi mahar dalam pernikahan sebagaimana disebutkan
dalam ayat yang membahas tetang pernikahan putri Nabi Syuaib dengan Nabi Musa
dengan mahar menggembala kambing selama delapan tahun (QS. al-Qashash: 27).
Menurut Hasan Muhammad Rifai, jika manfaat pekerja seperti
menggembala kambing boleh menjadi mahar karena sebagai harta, maka manfaat
pekerjaan sebagai harta boleh diwakafkan.
Bagi siapa saja yang mewakafkan profesinya atau
pekerjaannya berkewajiban melaksanakan pekerjaan itu, misalnya memperbaiki
kendaraan yang rusak, memberikan layanan kesehatan, atau mengajar pelajaran
tertentu. Kewajiban melaksanakan pekerjaan kadangkala dengan imbalan seperti
pegawai yang dipekerjakan, terkadang tanpa imbalan seperi pegawai atau guru
atau dokter yang mewakafkan manfaat pekerjaannya untuk waktu tertentu atau
selamanya. Menurut Hasan Muhammad Rifai, seseorang yang akan mewakafkan
profesinya atau pekerjaannya harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut: (1)
manfaat pekerjaan yang diwakafkan harus dihasilkan oleh wakif. (2) Pekerjaan
yang diwakafkan harus bernilai menurut syariah. (3) Pekerjaan yang diwakafkan
harus mampu diserahterimakan atau dilaksanakan. (4) Pekerjaan yang diwakafkan
harus jelas atau diketahui. (5) Pekerjaan yang diwakafkan ditentukan waktunya
jika wakaf sementara. (6) Pekerjaan yang diwakafkan dibuatkan akta ikrar wakaf.
(7) Pekerjaan yang diwakafkan adalah pekerjaan yang dibolehkan secara syariah.
(8) Wakif tidak menerima imbalan dari pekerjaan yang diwakafkannya.
Pekerjaan yang diwakafkan dapat berbentuk pekerjaan yang
dilakukan secara mandiri seperti montir atau mekanik, tukang, artis, guru,
dosen, dan lain-lain. Wakaf yang dilakukan oleh mereka akan berkontribusi
mewujudkan pembangunan masyarakat dalam berbagai sektor kehidupan. Selain
pekerjaan yang dilakukan secara mandiri, wakaf pekerjaan juga dapat dilakukan
oleh lembaga atau perusahaan dengan cara pemilik lembaga atau perusahaan
membuat perjanjian atau perikatan dengan lembaga wakaf misalnya untuk melakukan
perbaikan mobil atau mesin foto kopi pada saat terjadi kerusakan dalam kurun
waktu setahun atau lima tahun.
Bagaiman dengan praktik wakaf profesi? Di negara Kuwait
melalui Kuwait Awqaf Public Foundation telah memiliki program wakaf profesi
atau pekerjaan yang disebut dengan wakaf waktu yaitu mengalokasikan waktu
tertentu yang dilakukan oleh individu, lembaga atau perusahaan untuk melakukan
pekerjaan secara sukarela atau tanpa imbalan. Bagaimana praktik wakaf profesi
di Indonesia? Secara legalitas formal, wakaf profesi atau pekerjaan belum ada
aturannya sebab jenis harta benda wakaf yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan tentang wakaf hanya harta benda wakaf tidak bergerak, harta
benda wakaf bergerak selain uang, dan harta benda wakaf bergerak berupa uang.
Namun, meskipun dalam peraturan perundang-undangan tentang wakaf belum diatur,
wakaf profesi sudah dijalankan oleh beberapa lembaga wakaf seperti lembaga wakaf
Tazakka yang memiliki program wakaf profesi dan sudah ada orang-orang yang
mewakafkan profesinya, seperti profesi dokter yang mewakafkan pekerjaannya
secara rutin 2 jam dalam seminggu untuk membantu melayani kesehatan santri,
guru, dan masyarakat tanpa menerima imbalan, profesi notaris atau pejabat
pembuat akta tanah yang mewakafkan pekerjaannya dengan membuatkan akta notaris
dan mengurus sertipikat tanah secara cuma-cuma, ada juga arsitek atau insinyur
yang mewakafkan keahliannya guna membantu mendesain dan mengawasi jalannya
pembangunan fisik di Pondok Modern Tazakka tanpa mendapat imbalan materi.
Selain Tazakka, tentunya lembaga lain juga sudah ada yang
mempraktikkan wakaf profesi dan beberapa orang juga sudah mewakafkan profesinya
meskipun mereka tidak menyebutnya sebagai wakaf profesi. Olah karena praktiknya
di tengah masyarakat sudah ada, ada arsitek yang mewakafkan profesinya untuk
membuat desain gambar masjid atau pesantren, ada guru atau dosen yang
mewakafkan pekerjaannya misalnya 2 jam dalam seminggu mengajar tanpa imbalan,
ada dokter yang mewakafkan pekerjaannya misalnya 2 jam setiap minggu berparktik
tanpa imbalan, ada notaris atau pejabat pembuat akta tanah yang mewakafkan
profesinya dengan membuatkan akta yayasan sosial atau mengurus sertifikat pesantren dan masjid tanpa imbalan, ada artis
yang mewakafkan pekerjaannya dengan tidak menerima imbalan pada acara atau
kegiatan sosial atau untuk keperluan lembaga sosial, bahkan ada pejabat yang
mewakafkan pekerjaanya dengan bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
atau mewujudkan keadilan tanpa menerima gaji selama masa jabatannya, dan
profesi-profesi atau pekerjaan-pekerjaan lainnya. Meskipun praktiknya sudah
ada, hanya terkadang penyebutannya tidak sebagai wakaf profesi atau pekerjaan,
ada yang menyebutnya sebagai sebuah kebaikan saja, atau sebagai sedekah, atau
ada yang menyebutnya dengan wakaf hanya tidak langsung disebutkan sebagai wakaf
profesi. Oleh karena itu, perlu literasi dan sosialisasi adanya wakaf profesi
dan akan lebih baik lagi kalau diatur dalam peraturan perundang-undangan
tentang wakaf. Dengan demikian, akan semakin banyak orang, lembaga, atau
perusahaan yang berpartisipasi dalam wakaf profesi sehingga dapat berkontribusi
dalam meningkatkan kesejahteran dan pembangunan masyarakat.
********************
Oleh : Dr. H. Fachrurroji, LC, MA. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com